Isu PKI dikaitkan dengan banyaknya penutupan lintas cabang di antara dekade 1970-an hingga 1980-an. Nggak sepenuhnya salah memang karena sejak pembersihan di tubuh PNKA jadi kekurangan tenaga ahli. Sekalipun tengah menikmati booming minyak, nyatanya nggak ngefek ke kereta api.
Jawa Barat sendiri termasuk wilayah Bandung Raya dan sekitar banyak ditemukan sisa-sisa jalur kereta api. Bahkan di dalam kota Bandung sendiri. Sebut aja bekas jalur KA Kiaracondong Karees yang banyak ditemukan mulai dari Kiaracondong, Daerah Sekitaran Laswi, hingga Malabar.
Padahal dulunya lintas ini nggak bisa disepelekan. Meski terlihat sangat pendek nggak nyampe 10 km. Peran lintas tersebut sangat krusial untuk angkutan barang. Terlebih BBM mengingat di daerah Samoja ada Dipo Pertamina. Begitu juga Karees itu dekat dengan Pasar Kosambi.
Masa-masa keemasan si ular besi di era kolonial dan awal masa pengakuan kedaulatan nyatanya nggak berlangsung hingga transisi dari Orde Lama ke Orde Baru.
Nggak Cuma Ekonomi Tapi Juga Politik, Termasuk Isu PKI
Alasan banyaknya lintas cabang di non-aktifkan pada masa orde baru lantaran kalah bersaing dengan transportasi jalan raya. Memang di era tersebut pembangunan infrastrukutur jalan raya sedang gencar-gencarnya.
Adapun jalur kereta api utamanya lintas-lintas cabang seperti diabaikan. Infrastruktur dibiarkan semakin uzur tanpa ada perawatan yang memadai. Bahkan armadanya pun masih mengandalkan lokomotif uap yang masa-masanya telah berakhir.
Inilah yang jadi sebab mengapa kereta api di lintas cabang bisa kalah saing. Memang ada faktor lain seperti dengan angkutan jalan raya bisa langsung menjangkau pasar dan pemukiman. Sementara kereta api hanya dari stasiun ke stasiun. Walaupun dari segi bebas macet kereta api tetap unggul.
Itu kalo diliat dari sisi ekonomi. Namun siapa sangka justru ada faktor politis dibalik maraknya jalur KA percabangan yang mati sepanjang dekade 70 hingga 80-an. Satu isu yang paling mencolok ialah isu PKI. Dimana isu PKI merupakan satu hal yang sangat sensitif bagi masyarakat Indonesia.
Ketakutan akan bagaimana kebengisan mereka di tahun 1948 dan 1965 senantiasa membuat masyarakat jadi paranoid. Manakala mendengar isu PKI tersebut. Bahkan di era orde baru, golongan kritis kerap dilabeli sebagai “PKI”.
Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) “Cucu” PKI?
Darimana isu PKI masuk ke dunia perkeretaapian kita? Di tahun 1960-an perkeretaapian kita dioperasikan oleh PNKA (Perusahaan Negara Kereta Api) yang sebelumnya adalah DKA (Djawatan Kereta Api) hasil penggabungan dari SS (Staatspoorwegen) dan DKARI (Djawatan Kereta Api Indonesia).
Penyatuan kedua operator tersebut terjadi pasca pengakuan kedaulatan oleh Kerajaan Belanda dalam perundingan KMB di Den Haag Belanda. Nah memasuki dekade 60-an, DKA berganti nama menjadi PNKA.
Singkat cerita terjadilah huru hara di tahun 1965. Terlebih pasca kejadian “Malam Jahannam 1 Oktober 1965” yang memakan korban 6 Jenderal dan 1 Perwira Menengah TNI AD. Disini PKI dituding sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas peristiwa yang kita kenal dengan nama G30S.
Siapa tersangka utama tragedi itu memang masih gelap. Namun jika kita bicara tentang PKI maka yang tersirat di benak adalah bagaimana perilaku buruk mereka. Terutama terhadap santri dan ulama. Mereka seringkali melakukan pembunuhan bahkan dengan cara yang sangat bengis diluar batas kemanusiaan.
Nah atas dasar itulah PKI dijadikan sebagai Tersangka Utama dalam peristiwa berdarah G30S tanggal 1 Oktober dini hari. Setelahnya seluruh media massa dibawah kontrol militer, khususnya TNI AD.
Banyak petinggi militer ditempatkan di instansi-instansi penting. Salah satunya seorang perwira tinggi Kostrad ditempatkan di PNKA. Tujuannya tentu saja untuk melakukan pembersihan terhadap mereka yang terlibat PKI.
Kebetulan waktu itu di Kereta Api terdapat serikat pekerja yakni Serikat Buruh Kereta Api (SBKA). Organisasi buruh ini berada dibawah SOBSI. Sementara SOBSI merupakan salah satu underbouw PKI. Nah bila dilihat dari strukturnya, SBKA merupakan “cucu” PKI.
Kehilangan 2/3 Pekerja Termasuk Tenaga Ahli
Pembersihan yang dilakukan di PNKA nyatanya telah membuat operator kehilangan sekitar 2/3 pekerjanya. Termasuk para tenaga ahli di bidang kereta api. Kebanyakan dari mereka yang dibersihkan itu bukan sekedar dipecat. Tapi juga dijebloskan ke dalam penjara.
Lebih mengherankan lagi, banyak dari mereka yang nggak tau apa-apa tentang SBKA yang dibawah SOBSI itu. Mereka hanya ikut-ikutan aja. Banyak kehilangan sumber daya manusia tentu berpengaruh pada kualitas layanan kereta api itu sendiri di kemudian hari.
Jadi isu PKI ternyata juga turut berperan di sini. Mereka yang dibersihkan juga nggak lantas digantikan dengan tenaga baru.
Dampak Isu PKI Banyak Lintas Cabang Ditutup
Sebagai produsen minyak bumi saat itu, Indonesia tentu menikmati booming harga minyak dunia sebagai dampak dari Perang Arab-Israel di tahun 1967. Namun ternyata itu nggak terlalu dinikmati oleh sektor perkeretaapian.
Hasil booming minyak lebih banyak dipake buat membangun infrastruktur jalan raya. Berikut pembangunan di bidang sektor otomotif sebagai tindak lanjut atas pembangunan besar-besaran itu.
Hasilnya hanya lintas utama kereta api aja yang tetap bertahan dan berkembang. Lintas-lintas cabang dibiarkan uzur hingga akhirnya ditutup lantaran terus merugi. Seperti jalur KA Kiaracondong Karees yang dibahas di awal.
Jalur pendek ini ditutup pada tahun 1976. Sedangkan Jalur KA Bandung Ciwidey yang bertemu dengan lintas ini ditutup tahun 1980-an awal. Satu petak tersisa menuju Kavaleri juga mengalami nasib yang sama di awal tahun 2000-an.
Memang penutupan lintas tersebut diakibatkan oleh kebijakan Pertamina yang menggunakan jalur pipa ketimbang angkutan ketel yang ditarik kereta api. Juga terjadi perpindahan Dipo ke Padalarang.
Seharusnya sih masih bisa mengandalkan angkutan barang dan penumpang. Apalagi Halte Karees lebih dekat ke pemukiman penduduk. Tapi ya karena itu tadi. Minim tenaga ahli akibat “bersih-bersih”.
Gegara Isu PKI, Lintas Utama Pun Dikorbankan
Ternyata nggak cuma lintas cabang. Jalur KA Cibatu Garut yang asalnya lintas utama pun ikut dikorbankan. Ketika itu memang dianggapnya lintas cabang. Jadi aja dikesampingkan.
Jalur legendaris ini dinonaktifkan setelah dinasan kereta api terakhir pada 9 Februari 1983. Mirisnya lagi nggak ada sosialisasi di media massa melainkan hanya sebatas di stasiun-stasiunnya saja.
Untungnya Jalur KA Cibatu Garut kini telah aktif lagi dan beroperasi secara reguler. Tercatat KA Lokal Garut Cibatuan dan Kereta Api Cikuray rutin dinas di sini. Semoga aja nantinya akan bertambah lagi. Sang legenda walaupun lintas utama tapi ikut jadi korban isu PKI di dunia perkeretaapian.
Isu PKI memang menjadi hal sensitif dalam masyarakat kita. Paling nyaring terdengar kalo udah masuk bulan September.
Galeri Foto
Referensi
Wisnu Prasetyo. 2019. Jalur Cibatu-Garut Mati Suri karena Isu PKI. Jakarta: KumparanNews.
Leave a Reply