Sejarah perkeretaapian Indonesia dimulai dari Jalur KA Semarang Solo. Tepatnya pada tanggal 10 Agustus 1867 ketika segmen Semarang-Tanggung dibuka. Seluruh lintasan beroperasi penuh tahun 1870 dan jadi awal terbentuknya Lintas Kereta Api Mataram (Vortenslanden) dan segitiga Solo.
- Pendahuluan
- Sejarah Perkembangan Jalur KA Semarang Solo
- Awalnya Dari Stasiun Samarang NIS
- Jalur KA Semarang Solo Dibangun Dua Tahap
- Segmen Samarang NIS – Tanggung Beroperasi 10 Agustus 1867
- Jalur KA Semarang Solo Pakai Standard Gaunge 1.435 mm
- Jembatan Sungai Tuntang dan Pembangunan Tahap 2
- Stasiun Gundih : Terbesar Kedua di Grobogan
- Jalur KA Semarang Solo : Dominasi Hutan, Ladang, dan Sawah
- Tahun 1870 Semarang dan Surakarta Tersambung
- Jalur KA Semarang Solo : Percabangan Pertama ke Ambarawa
- Tahun 1914 Perubahan Lintasan dari Semarang
- Percabangan Gundih Surabaya : Gegara Cadangan Minyak
- Jalur KA Semarang Solo : Titik Awal Lintas Kereta Api Mataram (Vortenslanden)
- Penyeragaman di Masa Pendudukan Jepang
- Jalur KA Semarang Solo Kini : Aglomerasi, KA Jarak Jauh, Parcel Tengah
- Misteri Segitiga Solo : Apakah Dibangun Jepang?
- Kesimpulan
- Galeri Foto
Pendahuluan
Perjalanan Kereta Api Banyubiru tanggal 9 Juni 2023 lalu merupakan napak tilas sejarah awal perkeretaapian Indonesia. Kereta baru tapi lama itu melintas di jalur yang sangat legendaris dan bernilai sejarah. Boleh jadi kita nggak akan mengenal si ular besi kalo aja nggak ada lintas tersebut.
Memang dalam perjalanannya jalur bersejarah ini banyak mengalami dinamika. Mulai dari keberadaan percabangan di Kedungjati dan Gundih. Penggantian rel dari 1.435 mm ke 1.067 mm pada masa penjajahan Jepang. Sampai operasional kereta komuter yang kembang kempis.
Lantas seperti apakah sejarah lintas yang kini menghubungkan Stasiun Semarang Tawang Bank Jateng dengan Solo Balapan itu?
Sejarah Perkembangan Jalur KA Semarang Solo
Lintasan bersejarah yang dimaksud ialah Jalur KA Semarang Solo. Menghubungkan Kota Semarang di Pantura Jawa dengan Surakarta Hadiningrat di sebelah selatan. Motif ekonomi jadi latar belakang pembangunan jalur ini. Konektivitas antara Pelabuhan Semarang dengan Pedalaman Jawa dan sejumlah Pabrik Gula.
Namun pada perjalanannya, jalur ini juga melayani angkutan penumpang. Belum lagi untuk mobilitas militer melalui percabangan ke Stasiun Ambarawa (Willem II). Nah seperti apakah perjalanan sejarah jalur tersebut?
Awalnya Dari Stasiun Samarang NIS
Siapa sangka titik awal jalur ini justru berbeda dari yang sekarang. Awal mula jalur bersejarah ini justru dari Stasiun Samarang NIS yang letaknya lebih ke utara mendekati pelabuhan. Stasiun itu juga jauh dari Pusat Kota Semarang. Tapi begitulah perjalanan sejarah. Di sinilah perkeretaapian Indonesia berawal.
Jalur KA Semarang Solo Dibangun Dua Tahap
Pembangunan jalur KA Semarang Solo berlangsung dalam dua tahap sebagai berikut:
- Tahap 1 : Samarang NIS – Kedungjati sejauh 36 km tahun 1867
- Tahap 2 : Kedungjati – Solo sejauh 74 km tahun 1870
Bila ditotal panjang lintasan seluruhnya 110 km. Cukup jauh memang. Karena itu wajar bila sekarang aja Perjalanan Kereta Api Banyubiru waktu tempuhnya 2 jam 5 menit. Itu kalo acuannya perjalanan tanggal 9 Juni 2023. Sebelum ada pemberhentian di Telawa.
Segmen Samarang NIS – Tanggung Beroperasi 10 Agustus 1867
Selaku operator pada saat itu, NISM berhasil menyelesaikan tahap 1 dari keseluruhan lintasan di tahun 1867. Namun yang lebih dulu beroperasi justru segmen Samarang NIS-Tanggung. Pengoperasian kereta api waktu itu belum sampai Kedungjati.
Jalur KA Semarang Solo Pakai Standard Gaunge 1.435 mm
Ketika membangun jalur ini, NISM menggunakan standard gaunge 1.435 mm. Sama dengan jalur kereta api yang ada di Eropa pada umumnya. Bila diamati dari Semarang ke Tanggung lintasannya memang datar. Bahkan belum ada jembatan yang lumayan ekstrem di sini.
Jembatan Sungai Tuntang dan Pembangunan Tahap 2
Belum jelas kapan segmen Tanggung-Kedungjati beroperasi. Namun yang jelas pembangunan tahap 2 ke Surakarta baru bisa diwujudkan di tahun 1870 atau 3 tahun setelah Tahap 1 selesai dan operasional. Di tahap 2 ini walaupun masih datar tapi mulai banyak membangun jembatan untuk menyeberangu sungai yang cukup besar.
Salah satunya ialah Jembatan Sungai Tuntang di sebelah selatan Stasiun Kedungjati. Bahkan boleh dibilang jembatan ini satu-satunya yang paling ekstrem di lintasa bersejarah. Sungai Tuntang itu sendiri juga kerap dilanda banjir pada musim hujan.
Stasiun Gundih : Terbesar Kedua di Grobogan
Tahap ke-2 dari Jalur KA Semarang Solo melewati daerah Gundih di Kabupaten Grobogan. Disini berdiri sebuah stasiun dengan nama yang sama. Dalam perjalanannya nanti Stasiun Gundih akan punya percabangan ke Gambringan hingga Surabaya. Saat ini merupakan stasiun terbesar kedua yang ada di Grobogan.
Jalur KA Semarang Solo : Dominasi Hutan, Ladang, dan Sawah
Sebagai perusahaan swasta, NISM jelas harus menghitung untung dan rugi pembangunan jalur kereta api dari Semarang ke Surakarta. Jalur pegunungan tentu akan memakan biaya besar.
Untungnya lintasan ini tergolong datar. Sehingga sepanjang lintasan akan disuguhi pemandangan yang didominasi hutan, ladang, dan sawah. Makanya jalur ini juga ikut membuka keterisolasian daerah-daerah pedalaman yang harus menembus hutan.
Tahun 1870 Semarang dan Surakarta Tersambung
Akhirnya pada tahun 1870 Kota Semarang dan Surakarta Hadiningrat terhubung jalur kereta api melalui sebuah stasiun yang sekarang dikenal dengan nama Solo Balapan. Sebuah sejarah barupun tercipta. Dari sinilah nantinya perkeretaapian di bumi Nusantara terus berkembang.
Ketika jalur ini selesai dibangun, wilayah sekitaran Surakarta itu banyak terdapat Pabrik Gula. Tentu ini akan sangat memudahkan pengiriman komoditas tersebut untuk diekspor melalui Pelabuhan Semarang.
Jalur KA Semarang Solo : Percabangan Pertama ke Ambarawa
Seperti telah disinggung sebelumnya, NISM tentu menghitung untung dan rugi pengoperasian kereta api. Begitupula ketika hendak membangun percabangan dari Kedungjati ke Stasiun Ambarawa (Willem I).
NISM telah menghitung bahwa jalur tersebut kurang menghasilkan. Namun kepentingan militer dari Pemerintah Kolonial akhirnya meluluhkan itu semua. Daerah Ambarawa merupakan pusat militer penting dan membutuhkan angkutan kereta untuk mobilitas.
Percabangan dari Kedungjati ke Ambarawa yang mengikuti aliran Sungai Tuntang akhirnya tetap dibangun. Tahun 1873 lintas cabang ini beroperasi. Ini adalah percabangan pertama di jalur KA Semarang Solo.
Tahun 1914 Perubahan Lintasan dari Semarang
Tak ada gading yang tak retak. Beroperasinya Jalur KA Semarang Solo rupanya juga meninggalkan semacam PR. Stasiun Samarang NIS sebagai titik awal ternyata jauh dari Pusat Kota. Ditambah lagi stasiun tersebut sering kebanjiran.
Karena itulah NISM melakukan perubahan lintasan kereta api mulai dari Stasiun Alastua. Kemudian dibangunlah sebuah stasiun di tengah kota yang saat ini dikenal dengan nama Stasiun Semarang Tawang Bank Jateng. Akhirnya tahun 1914 stasiun tersebut beroperasi. Segmen Semarang pun berubah.
Percabangan Gundih Surabaya : Gegara Cadangan Minyak
NISM Pada awalnya menolak pembangunan jalur Kereta Pantura Timur karena dinilai nggak prospek. Namun ditemukannya cadangan minyak di sekitaran Cepu membuat NISM berubah pikiran. Berujung pembangunan Jalur Kereta Pantura Timur dari Surabaya ke Gundih tahun 1900-1903.
Sejak tahun 1903 Stasiun Gundih memiliki percabangan ke Surabaya dan menjadi Jalur Kereta Pantura Timur pertama. Inilah percabangan kedua di Jalur KA Semarang Solo. Uniknya percabangan ini menggunakan lebar spoor 1.067 mm.
Sehingga Stasiun Gundih melayani kereta dengan lebar spoor berbeda. Menjadikannya stasiun kedua yang melayani lebar spoor 1.067 mm dan 1.435 mm setelah Stasiun Ambarawa.
Jalur KA Semarang Solo : Titik Awal Lintas Kereta Api Mataram (Vortenslanden)
Selesainya jalur ini menjadi titik awal terbentuknya Lintas Kereta Api Mataram (Vortenslanden) yang menghubungkan Surakarta dan Yogyakarta. Dua kota penting di wilayah Kesultanan Mataram. Jalur yang saat ini melayani perjalanan KRL Joglo.
Penyeragaman di Masa Pendudukan Jepang
Kedatangan Jepang tahun 1942 merubah arah Perkeretaapian Indonesia. Di masa pendudukan Jepang terjadi penyeragaman seluruh lintasan kereta api jadi 1.067 mm. Tak terkecuali di Jalur KA Semarang Solo. Bahkan di masa ini terjadi pengurangan panjang lintasan setelah beberapa jalur kereta ditutup seperti Yogyakarta Kotagede sampai dengan Pundong.
Jalur KA Semarang Solo Kini : Aglomerasi, KA Jarak Jauh, Parcel Tengah
Jalur KA Semarang Solo saat ini masih beroperasi bahkan jadi salah satu lintas utama penting di Pulau Jawa. Di jalur legendaris ini beroperasi dua kereta aglomerasi yakni Kereta Api Banyubiru dan Joglosemarkerto.
KA Jarak Jauh tujuan Stasiun Blitar dan Stasiun Malang juga melewati jalur ini. Tercatat ada Kereta Api Brantas, Matarmaja, hingga Majapahit. Namun ketiganya langsung mengambil arah ke timur menuju Stasiun Solo Jebres tanpa ke Solo Balapan dulu.
Terakhir Kereta Parcel Tengah atau ONS. Melayani angkutan barang dari Stasiun Malang ke Kampung Bandan dan Jakarta Gudang. Jadi satu-satunya angkutan barang yang melintas jalur legendaris.
Misteri Segitiga Solo : Apakah Dibangun Jepang?
Namun ada satu hal yang menyisakan misteri yakni segitiga Solo. Ini adalah titik pertemuan antara Jalur KA Semarang Solo dan Surabaya Solo. Pada awalnya, kedua jalur menggunakan spoor berbeda. Dimana Jalur Kereta Surabaya Solo yang dibangun Staats Spoorwegen (SS) gunakan 1.067 mm.
Kedua lintasan itu lantas bertemu di Solo Balapan sejak tahun 1884. Di tahun yang sama juga berdiri Stasiun Solo Jebres milik Staats Spoorwegen (SS). Nah yang menjadi pertanyaan, kapankah shortcut dari Jalur KA Semarang Solo ke stasiun tersebut dibangun? Apalagi ada perbedaan lebar spoor?
Transfer Kereta dan Lanjut via Jalur KA Semarang Solo
Pasalnya sejak 1884 penumpang dari Surabaya yang hendak ke Semarang harus turun dulu di Stasiun Solo Balapan dan pindah ke kereta NISM karena perbedaan spoor itu tadi. Kereta NISM tersebut mengantarkan penumpang via Jalur KA Semarang Solo.
Rel Ketiga di Segmen Gundih-Solo Tahun 1941
Tahun 1941 NISM membangun rel di spoor 1.435 mm untuk mengakomodasi kereta untuk spek 1.067 mm untuk segmen Gundih-Solo. Keberadaan rel tambahan itu juga sama dengan di Lintas Kereta Api Mataram (Vortenslanden) untuk mengakomodasi Kereta SS antara 1899 hingga 1929
Penyeragaman Oleh Kekaisaran Jepang
Setahun setelah rel ketiga terpasang di segmen Gundih-Solo, Kekaisaran Jepang mengambilalih kekuasaan dari tangan Pemerintah Kolonial Belanda. Sejak itulah perkeretaapian di tanah air menghadapi dinamika baru. Salah satunya penyeragaman lebar spoor jadi 1.067 mm. Termasuk di Jalur KA Semarang Solo.
Dua Kemungkinan Dibangun NISM/SS atau Jepang
Jadi ada dua kemungkinan. Pertama, Segitiga Solo mulai ada tahun 1941 bersamaan dengan keberadaan rel ketiga di segmen Gundih-Solo. Boleh jadi shortcut yang tersambung langsung Jalur Surabaya Solo arah Stasiun Solo Jebres itu dibangun oleh NISM atau malah SS.
Kedua, boleh jadi Jepang yang membangun shortcut tersebut ketika melakukan penyeragaman jadi 1.067 mm. Nah ini mungkin aja kemungkinan yang paling kuat. Apalagi belum ditemukan literatur bahwa shortcut ini telah ada dan dibangun NISM atau SS sebelumnya. Terlebih Jalur Kereta Surabaya Solo itu berakhir di Stasiun Solo Balapan milik NISM.
Kesimpulan
Jalur KA Semarang Solo dibangun dalam dua tahap yakni Samarang NIS – Kedungjati dan Kedungjati – Solo. Mulai beroperasi 10 Agustus 1867 dari Samarang NIS ke Tanggung. Pada tahun 1870 Semarang dan Solo telah tersambung dengan jaringan rel kereta api.
Dalam perjalanannya dibangun percabangan dari Kedungjati ke Ambarawa (1873) dan Gundih ke Gambringan hingga Surabaya (1914). Kecuali percabangan ke Gambringan (1.067 mm), seluruh lintasan dan percabangannya menggunakan lebar spoor 1.435 mm.
Tahun 1941 di segmen Gundih-Solo sempat dipasang rel ketiga untuk menampung kereta dengan spek 1.067 mm. Setahun kemudian Jepang datang dan menyeragamkan semuanya jadi 1.067 mm.
Jalur ini menjadi titik awal terbentuknya Lintas Kereta Api Mataram (Vortenslanden). Juga menyisakan misteri keberadaan segitiga Solo. Khususnya “shortcut” ke Stasiun Solo Jebres. Antara dibangun 1941 atau setahun kemudian oleh Jepang.
Leave a Reply