Kereta Api Magelang pernah menapaki masa kejayaan di tahun 1903. Sayang ketatnya persaingan dengan jalan raya dan bencana Gunung Merapi jadi akhir dari semuanya. Kini tinggal sisakan satu kereta kayu. Akankah dihidupkan lagi?
Pendahuluan
Bila ada pembicaraan tentang keberadaan si ular besi di Magelang kini tentu akan membuat kamu melongo. Pasalnya nggak ada kereta api ke sana. Kalopun mau naik pilihannya kamu hanya bisa turun di Stasiun Kutoarjo atau Tugu Jogja. Untuk ke sananya lanjut menggunakan transportasi jalan raya.
Kabar baiknya kamu nggak perlu melongo. Faktanya si Ular Besi memang pernah ada dan beroperasi di Magelang. Bahkan berjaya di masanya. Dengan kereta kayu yang interiornya terbilang mewah pada masanya. Namun kejayaan itupun perlahan pudar. Hingga terjadilah bencana Gunung Merapi yang memutus jalur kereta api sampai sekarang.
Berbagai wacana reaktivasi Jalur Magelang yang nyambung dengan Stasiun Ambarawa banyak terdengar. Namun belum ada tanda-tanda hingga sekarang. Akankah Si Ular Besi kembali menapaki rodanya di Magelang? Terlepas dari pro dan kontra yang ada.
Sejarah Kereta Api Magelang
Kereta Api Magelang punya sejarah panjang dan termasuk yang tertua di Indonesia. Pembangunan lintasnya merupakan lanjutan dari Yogyakarta. Dimana NISM membuat Jalur Kereta Jogja Ambarawa yang melewati Magelang, yang nantinya tersambung jalur KA Ambarawa Kedungjati via Stasiun Tuntang.
Lintas Magelang dibangun dalam 2 tahap yakni 1898 dan 1903. NISM menjadikan lintas tersebut sebagai jalur tram dengan lebar spoor 1.067 mm. Untuk membedakannya dengan lintas utama 1.435 mm. Penggunaan spoor 1.067 mm karena medan yang akan dilewatinya termasuk pegunungan.
Setelah sampai di Stasiun Secang Magelang, jalur dilanjutkan lagi ke Gemawang, Bedono, lalu menyambung dengan jalur yang sekarang jadi bagian dari Museum Kereta Api Ambarawa. Dimana ini merupakan bagian dari Jalur Kereta Jogja Ambarawa.
Melintasi medan ekstrem, mulai dari Secang hingga Jambu lewat Gemawang, Candi Umbul, dan Bedono, pihak NISM menggunakan rel gerigi untuk menggantikan terowongan. Pertimbangannya tentu di sisi biaya. Penggunaan rel gerigi dianggap lebih murah daripada harus membangun terowongan.
Kereta Api Magelang : Kereta Kayu Mewah
Keistimewaan dari Sepur Magelang ini adalah Kereta Kayu nya. Dimana pada interior merupakan yang paling mewah di antara kereta kayu lainnya. Perbedaan bila kereta kayu umumnya memiliki pintu di setiap ujung persambungan kereta, nah yang ini ada di tengah. Sehingga lebih memudahkan penumpang naik.
Pasang Surut Kereta Api Magelang
Tahun 1905 hingga 1942 boleh dibilang merupakan masa keemasan kereta api Magelang bersama jalur kereta Jogja Ambarawa yang eksotis. Bahkan saat itu Stasiun Ambarawa memiliki dua spoor yakni 1.067 di segmen Magelang dan 1.435 mm di segmen Tuntang. Menjadikannya stasiun terminus waktu itu.
Masa Pendudukan Jepang 1942-1945 jadi titik balik dalam sejarah perkeretaapian Indonesia pada umumnya. Untunynya Lintas Magelang masih bisa terselamatkan. Pihak Kekaisaran Jepang masih menganggapnya penting. Hanya dilakukan pergantian rel menjadi 1.067 di segmen Tuntang. Sejak itu Stasiun Ambarawa bukan lagi terminus.
Pasca kemerdekaan si Ular Besi masih menunjukkan eksistensinya di Magelang. Namun gejolak politik di tahun 1965 yang berujung pada pergantian rezim 1968 berdampak bagi kelangsungan Kereta Api Magelang.
Tahun 1970-an merupakan masa paling kelam. Dengan sarana tua dan laju kereta yang sangat pelan membuatnya kalah bersaing dengan angkutan jalan raya yang mulai bermunculan. Puncaknya di 1976 ketika bencana Banjir Lahar Dingin Gunung Merapi merusak Jembatan Tempel di atas kali Krasak. Sejak itu roda besi nggak lagi berputar di Magelang.
Tinggal Menyisakan Satu Gerbong di Ambarawa
Ironisnya, dari sisi sarana, hanya tinggal menyisakan satu buah gerbong kayu yang sempat dipajang di Terminal Kebon Pala Magelang dari tahun 1986 sampai dipindahkan ke Museum Kereta Api Ambarawa di 2011. Selama 25 tahun sisa kejayaan Kereta Api Magelang hanya bisa “mantengi” lalu lalang angkutan jalan raya terutama Bus Antar Kota.
Sekarang kereta kayu yang dulunya ”mewah” hanya jadi pajangan di Ambarawa. Andai kereta itu dirangkaikan dengan Kereta Wisata Ambarawa Tuntang. Padahal dulunya pernah meramaikan lintas tersebut.
Kereta Api Magelang : Pro Kontra Reaktivasi
Belakangan banyak wacana reaktivasi jalur Kereta Jogja Ambarawa yang membentang dari Stasiun Tugu Jogja ke Secang Magelang, dan menyambung dengan Lintas yang kini dioperasikan sebagai bagian dari Museum Kereta Api Ambarawa.
Namun banyak sekali tantangannya mengingat di bekas jalur telah banyak berdiri bangunan permanen. Baik di sisi Jogja maupun Magelang. Ini juga udah mencakup dua provinsi: Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Pernah juga diwacanakan pakai jalur baru dari Sentolo ke Borobudur.
Wacana reaktivasi pun banyak menimbulkan pro dan kontra. Termasuk opsi menggunakan jalur lama atau membangun baru. Kita sih berharap si Ular Besi bisa kembali ke Magelang suatu hari nanti. Pasalnya di Magelang banyak objek wisata namun masih minim transportasi umum layak.
Saat ini baru tersedia Trans Jateng dari Kutoarjo ke Termnal Borobudur. Ditambah shuttle bus yang dikelola Damri dari Jogja. Kalopun bisa naik kereta api, pilihannya turun di Stasiun Kutoarjo atau Tugu Jogja, lalu menyambung bus atau shuttle tadi.
Kesimpulan
Kereta Api Magelang pernah mengalami masa keemasan, bahkan punya sarana kereta kayu dengan interior mewah. Sayangnya semua memudar sejak kedatangan Jepang di tahun 1942. Kemudian akibat gejolak politik dan pergantian rezim tahun 1968. Sarana uzur jadi sebab kalah saing dengan jalan raya.
Puncaknya bencana Gunung Merapi yang memutus jembatan Tempel di atas Kali Krasak tahun 1976. Sejak itu nggak ada lagi si Ular Besi di Magelang. Bahkan tinggal sisakan satu kereta kayu yang kini terpajang di Museum Kereta Api Ambarawa. Wacana reaktivasi terus bermunculan. Semoga suatu hari nanti bisa ada lagi di Magelang.
Leave a Reply