Politisasi Hutang Whoosh masih aja belum kelar. Bahkan udah mulai nggak sehat dan cenderung menjurus ke rasis. Juga mengalihkan isu Naming Rights Cirebon dan Stasiun Klakah. Solusi yang keluar memang baru satu yaitu perpanjangan tenor pinjaman jadi 60 tahun. Sebagai bagian dari restrukturisasi.
Pendahuluan
Isu hutang Whoosh kembali muncul ke permukaan. Bermula dari berita bahwa Menteri Keuangan menolak penggunaan APBN untuk menyelesaikan utang tersebut, isu ini terus bergulir seperti bola liar. Banyak akun media sosial yang mengangkatnya. Seolah berlomba meningkatkan engagement.
Masalah semakin ruwet ketika media mainstream terus memberitakan soal tersebut setiap hari. Media sosial pun terus memunculkan hal tersebut. Seolah berlomba untuk sekedar mendapatkan perhatian publik. Hutang Whoosh jadi semacam Drama China. Terus digoreng, dramatisasi, sampai politisasi.
Sampai harus diredam oleh sekelas menteri hingga pejabat Tiongkok pun harus turun tangan. Ya, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) merupakan mitra dalam proyek Kereta Cepat Whoosh.
Hingga akhirnya Pihak Danantara sebagai perwakilan Indonesia telah sepakat dengan Tiongkok untuk memperpanjang tenor (pengembalian utang) selama 60 tahun. Sebagai bagian dari Restrukturisasi Utang.
Politisasi Hutang Whoosh : Sekali Lagi Dari Pemberitaan
Mengapa isu ini sampai dipolitisasi? Semua berawal dari pemberitaan di media massa yang menyebut keengganan Menteri Keuangan menggunakan APBN untuk menyelesaikan Hutang Whoosh. Bahkan sampai ada pula pemberitaan bahwa antara Kementerian Keuangan dengan Danantara saling lempar.
Sebagai tambahan Danantara adalah lembaga yang Mengelola dividen Holding Investasi, dividen Holding Operasional, dan dividen BUMN. Menyetujui penambahan dan/atau pengurangan penyertaan modal pada BUMN yang bersumber dari pengelolaan dividen.
KCIC sebagai operator Whoosh merupakan usaha patungan antara Konsorsium Indonesia dan Tiongkok. Dimana Konsorsium Indonesia adalah Pilar Sinergi BUMN yang terdiri dari PT. KAI, Wika, Jasa Marga, dan PT. Perkebunan Nusantara VIII. Dalam hal ini, PT. KAI merupakan pimpinan dengan porsi saham 50% lebih.
Isu Hutang Whoosh sebenarnya udah pernah muncul. Ketika Dirut KAI yang baru menyampaikan bahwa keuangan PT.KAI terbebani oleh kewajiban tersebut hingga muncul kalimat “bom waktu”. Itu juga sempat jadi gorengan meski akhirnya mereda seiring berjalannya waktu.
Namun isu itu muncul lagi ketika Menteri Keuangan ogah pake APBN dan menyerahkan tanggung jawab ini ke Danantara. Sekali lagi utang whoosh jadi gorengan media dan keriuhan di media sosial.
Politisasi Hutang Whoosh Menjurus ke Rasis
Semakin gencar media masa memberitakan Hutang Whoosh dengan berbagai dinamikanya. Terlebih banyak juga politikus yang mengangkat isu ini sehingga jadilah politisasi. Iya kalo cuma politisasi doang, tapi tau sendiri kan media sosial itu kaya gimana?
Semakin banyak akun media sosial mengangkat isu ini, menggoreng sampai gosong dan minyaknya hitam pekat. Akhirnya komentar-komentar yang muncul semakin nggak sehat. Bahkan udah menjurus ke rasis. Belum kalo komentar itu digoreng lagi. Pokoknya udah nggak kondusif
Sampai Pejabat Tiongkok Pun Jadi “Pemadam Kebakaran”
Terus jadi gorengan, digoreng sampai gosong, minyaknya semakin menghitam pekat, apa yang terjadi sesudahnya? kompor meledak!
Ujung-ujungnya menteri yang mengemban tugas infrastruktur termasuk pengembangan Whoosh ke Surabaya angkat bicara. Kemudian dari Danantara juga. Nggak cukup? Pejabat Tiongkok pun sampai harus turun tangan jadi “pemadam kebakaran”.
Politisasi Hutang Whoosh Seolah Jadi Pengalihan Isu
Saking ramenya Politisasi Hutang Whoosh, sampai menutupi isu lainnya yang sejatinya belum kelar. Soal Naming Rights Stasiun Cirebon. Belum ada kabar lagi gimana penyelesaian antara pihak yang bersengketa. Juga perubahan nama Stasiun Klakah Ganti Nama Jadi Stasiun Lumajang pun sepi pemberitaan
Jadi kesannya, hal tersebut seolah jadi pengalihan isu. Supaya semua mata beralih ke Hutang Whoosh. Tapi mengabaikan persoalan lain di Cirebon dan Lumajang. Soal Stasiun Klakah Ganti Nama Jadi Lumajang sebenarnya ada pro kontra. Mengingat masih ada stasiun di Lumajang Kota yang statusnya non aktif.
Perpanjangan Tenor 60 Tahun Sebagai Satu Solusi
Akhirnya dari Danantara dan pihak terkait berunding dengan Tiongkok dengan satu kesepakatan yakni perpanjangan tenor jadi 60 tahun. Hutang Whoosh akan dicicil selama 60 tahun, dengan cicilan sebesar 2 trilyun per tahun.
Perpanjangan masa pembayaran jadi 60 tahun merupakan bagian dari Restrukturisasi Hutang Whoosh. Ini adalah wajar, mengingat Whoosh adalah proyek besar.

Kesimpulan
Politisasi Hutang Whoosh berawal dari pernyataan Menteri Keuangan yang ogah pake APBN buat menyelesaikan hutang proyek Whoosh. Kemudian media massa memberitakan setiap hari dan jadi gorengan di media sosial.
Bahkan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Sampai menteri, Danantara, dan Pejabat Tiongkok harus turun tangan jadi “pemadam kebakaran”. Akhirnya tercapai satu solusi yakni perpanjangan tenor (waktu pengembalian) jadi 60 tahun. Dengan cicilan 2 milyar per tahun. Bagian dari Restrukturisasi hutang.
Isu ini juga terkesan jadi pengalihan dua isu lainnya. Naming Rights Stasiun Cirebon dan Stasiun Klakah Ganti Nama Jadi Stasiun Lumajang. Dimana terjadi pro dan kontra.


Leave a Reply