Mulai direncanakan pada tahun 1954 namun baru terealisasi dan beroperasi 2019 di Jakarta. MRT Fase pertama dari Lebak Bulus ke Bundaran HI. Berbagai kelebihan yang ada menjadikannya standard tinggi dalam transportasi perkotaan. Sukses fase 1 ini lanjut ke pengembangan Fase 2A dari Bundaran HI ke Jakarta Kota. Lebih dari itu juga memicu daerah lain seperti Bali ikut membangun moda transportasi ini.

Resminya MRT atau dengan nama lain Ratangga mulai beroperasi tahun 2019. Namun sebenarnya proyek moda transportasi berbasis rel ini telah direncanakan sejak lama. Bahkan sejak zaman Orde Lama. Dimana pada saat itu Bung Karno ingin membangun Metro untuk menggantikan Tram Batavia warisan kolonial Belanda. Rencana serupa juga muncul kembali di masa Orde Baru. Namun keduanya harus buyar karena krisis ekonomi. Kehadiran MRT dengan berbagai kelebihan yang ada menjadikannya standard tinggi dalam transportasi perkotaan. Seperti apakah sejarah MRT di Indonesia?
Tahun 1954 adalah akhir operasional Tram Batavia. Moda transportasi yang satu ini dianggap sudah tak cocok lagi dengan dinamika Kota Jakarta. Presiden Sukarno waktu itu ingin kereta bawah tanah (metro) sebagai gantinya. Melihat moda transportasi serupa yang telah ada di London dan Tokyo. Wacana ini merupakan cikal bakal MRT atau Ratangga sekarang
Rencana membangun metro sebenarnya telah mendapat dukungan dari Gubernur DKI Jakarta yang juga punya rencana serupa. Ingin mengalihkan jalur kereta yang ada ke bawah tanah. Khususnya yang ada di tengah kota Jakarta. Sayangnya krisis ekonomi parah di awal 1960-an membuyarkan rencana itu.
Rencana membangun MRT sempat dihidupkan lagi di era Soeharto tapi lagi-lagi buyar gegara Krisis Ekonomi 1998. Bukan hanya MRT bahkan krisis tersebut juga membuyarkan proyek perkeretaapian lainnya yang juga telah direncanakan.
Baru di tahun 2008 rencana itu terelisasi. Tahap pertama mulai Detail Engineering Design (DED) 2008 hingga 2009. Proses konstruksi pada bulan Oktober 2013 dan selesai 2018. MRT secara resmi beroperasi tahun 2019. Kereta MRT dinamai Ratangga. Mengakhiri penantian panjang selama kurang lebih 7 dekade. Ibarat mimpi yang jadi kenyataan (Dream Come True).
Selain mimpi yang menjadi kenyataan, kehadiran Ratangga sekaligus menembus tradisi perkeretaapian Indonesia. Ratangga dioperasikan oleh PT. MRT Jakarta, yang menjadi operator kereta pertama diluar PT. Kereta Api Indonesia (KAI) yang telah ada dan punya sejarah panjang. Selama ini KAI menjadi satu-satunya operator di Indonesia. Dengan hadirnya MRT Jakarta otomatis “monopoli” tersebut berakhir. Meski untuk sekarang baru sebatas di Jakarta dengan fase 1 Lebak Bulus – Bundaran HI yang telah beroperasi.




Ekapratala adalah bagian dari masterplan penataan jalur kereta api di Jakarta tahun 1960-an. Penutupan lintas tengah kota dan menggantinya dengan jalur bawah tanah. Dengan tiga stasiun sentral yakni Cakung, Manggarai, dan Jakarta Kota. Namun rencana ini batal karena krisis ekonomi parah.

Viral sepur badug MRTJ memunculkan wacana MRT lanjut ke Serpong. Memang benar sepur badug itu tinggal selangkah ke Tangerang Selatan. Pihak operator pun langsung menggandeng Sinarmas untuk mewujudkan itu. Apabila terwujud bisa kurangi beban Commuter Line Jalur Rangkasbitung (Kulon).

Stasiun MRT Jakarta merupakan sarana vital bagi pengoperasian Ratangga. Terdapat 13 stasiun di Fase 1, dimana 5 diantaranya adalah stasiun besar. Stasiun mana aja itu?

Sebuah momen dimana KMT 2019 yang asalnya hanya bisa di KRL Commuter Line kini bisa jadi kartu integrasi antarmodal. Semula hendak dipakai di LRT Jabodebek siapa sangka terpakai juga di MRT hingga BRT Transjakarta. Top Up nya juga mudah selama ada smartphone NFC.

Naik MRT Lebak Bulus Jakarta Kota ternyata bisa lho. Bahkan mendapatkan tarif integrasi sekali bayar. Tanpa harus bayar lagi ketika lanjut. Gimana caranya supaya bisa dapat tarif tersebut?

Selama bertahun-tahun ada anggapan bahwa Kereta adalah KAI dimana keduanya seperti bagian yang tak terpisahkan. Namun sejak 2019 ada MRT Jakarta yang juga mengoperasikan kereta perkotaan. Masih relevankah itu?