Stasiun Sukabumi termasuk yang tertua di Jawa Barat dan punya sejarah panjang. Berbagai dinamika pernah terjadi di sini. Sempat pula beberapa kali statusnya non-aktif. Kini mulai hidup lagi dan punya potensi untuk berkembang ke depannya. Termasuk untuk pengoperasian KRL Commuter Line.
Merupakan ujung paling selatan di wilayah operasional Daop 1 Jakarta. Pertama kali beroperasi pada tahun 1882 sebagai bagian dari pembangunan jalur kereta api yang menghubungkan Buitenzorg (Bogor) ke Bandung yang mulai dibangun pada 5 Oktober 1881 oleh pemerintah Kolonial Belanda melalui operator Staatspoorwegen (SS). Membuka keterisolasian tanah Priangan sekaligus memperlancar perekonomian negara. Mengingat potensi hasil bumi di tanah Priangan seperti Teh, Kopi, hingga Kina.
Masa Kejayaan Stasiun Sukabumi
Setelah jaringan rel kereta api menembus Bandung tanggal 17 Mei 1884 maka sejak saat itu otomatis Batavia dan Bandung tersambung jalur kereta api. Walaupun di sini lain ada perbedaan operator dimana lintas Batavia-Buitenzorg dioperasikan NIS (Nederlandsch Indische Stroomtram Maatschappij), perusahaan swasta. Adapun dari Buitenzorg ke Bandung oleh perusahaan negara, Staatspoorwegen (SS). Jadi penumpang harus berganti kereta dulu di Buitenzorg. Kondisi kurang lebih sama dengan sekarang dimana penumpang KRL Commuter Line apabila hendak lanjut ke Sukabumi turun dulu di Bogor dan ganti KA Pangrango.
Nggak cukup sampai ke Bandung, jaringan rel kereta api pun berkembang hingga ke Jawa Tengah, Yogyakarta dan Surabaya. Kota-kota di sekitarnya pun menjadi hidup. Tak terkecuali Sukabumi. Sebelum tahun 1906, apabila ingin ke Surabaya dari Batavia udah pasti akan lewat Sukabumi dan Bandung. Di masa-masa itulah Stasiun Sukabumi mencapai kejayaan. Fasilitasnya pun cukup lengkap dan standard stasiun besar. Punya 5 jalur, Dipo Lokomotif, dan Turntable.
Sayangnya kejayaan Stasiun Sukabumi di awal abad ke-20 hanya berlangsung singkat. Pemerintah Kolonial Belanda ingin mempercepat mobilitas kereta api dengan membuka jalur baru Cikampek-Padalarang. Jalur yang mulai beroperasi pada tanggal 2 Mei 1906 ini lebih pendek meski harus melewati banyak lembah dan menembus bukit. Beberapa bentang jembatan dan satu terowongan dibangun di sana. Hal ini jelas jadi ancaman bagi jalur lama. Mengingat jalur ini sekalipun pemandangannya eksotis tapi lebih panjang dan memakan waktu lama.
Pasang Surut Pasca Kemerdekaan
Tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Selama 5 tahun berikutnya terjadi berbagai revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan. Sejak saat itulah Stasiun Sukabumi mengalami pasang surut. Pamornya meredup bahkan jalur lama pun seolah terlupakan karena orang lebih minat melewati lintas Cikampek-Padalarang yang telah lama menjadi saingan.
Belum lagi akses ke Jawa Tengah hingga ujung Timur melalui Cirebon telah dibuka. Jangankan Cirebon, bersaing sama Cikampek-Padalarang jalur lama dan tertua di bumi Pasundan aja megap-megap. Adanya jalur Cirebon otomatis kereta-kereta dari Jakarta ke Surabaya akan banyak yang lewat jalur tersebut. Hanya sedikit yang melewati Bandung, lagi-lagi itupun lewatnya Cikampek-Padalarang.
Di masa-masa inilah Stasiun Sukabumi mengalami periode pasang surut. Layanan hanya sebatas lokalan maupun kereta barang. Belum didapati literatur yang menyebut bagaimana kondisi stasiun dan lintas legendaris ini di masa Orde Lama (1950an hingga akhir 1960-an). Namun di masa orde baru khususnya dekade 1980-an lintas ini sempat mengalami kebangkitan sesaat dengan beroperasinya rangkaian kereta cepat rute Jakarta – Sukabumi – Cianjur PP menggunakan KRD MCW 302. Kereta ini masih beroperasi hingga akhir 1990-an.
Di awal Millennium, lintas Bogor Sukabumi hanya mengandalkan KRD Ekonomi ditambah KA Argo Peuyeum Bandung-Sukabumi yang beroperasi hingga 2001. Sayang musibah bencana alam yang merubuhkan Terowongan Lampegan membuat operasional KA Argo Peuyeum terhenti di Stasiun Lampegan, bahkan dalam perjalanan dipotong lagi jadi cuma nyampe Cianjur dan stasiun keberangkatan berubah jadi Ciroyom lantas dipotong lagi Padalarang sampai pensiun di 2012.
Titik Nadir Stasiun Sukabumi
Stasiun bersejarah di ujung selatan Daop 1 Jakarta ini akhirnya benar-benar berada di titik nadir pada tahun 2006. Rusaknya armada dan kerugian operasional mengakibatkan KRD Ekonomi rute Bogor Sukabumi berhenti beroperasi. Itupun ditambah catatan kelam Tragedi Terowongan Paledang 12 Januari 2000 yang menewaskan sejumlah penumpang yang duduk di atas atap kereta.
Dihentikannya operasional KRD Ekonomi otomatis menghentikan denyut perkeretaapian di Stasiun Sukabumi. Apalagi sebelumnya KA Argo Peuyeum juga udah nggak lagi nyampe sini gegara Terowongan Lampegan runtuh. Cukup lama sang legenda tertidur tanpa ada aktivitas si ular besi seperti sebelum-sebelumnya. Kecuali hanya sebatas layanan pemesanan tiket online untuk Kereta Api Jarak Jauh (KAJJ). Selama 5 tahun stasiun berikut jalurnya mati suri.
Stasiun Sukabumi awalnya punya 5 jalur dan dilengkapi Dipo Lokomotif. Namun dalam seiring dengan periode surut hingga ke titik nadir, tinggal 3 jalur aja yang siap beroperasi. Dipo nya udah nggak ada lagi. Turntable-nya sekalipun masih ada tapi udah non-aktif dan ditumbuhi rerumputan.
Era Bumi Geulis dan Pangrango-Siliwangi
15 Desember 2008 Stasiun Sukabumi mulai berdenyut lagi. Seiring pengoperasian KRD Bumi Geulis rute Bogor-Sukabumi sebagai pengganti KRD Ekonomi sebelumnya. Armadanya memang bukan armada baru melainkan ex-KA Prameks Solo-Jogja.
Tetap sama KRD MCW 302 hanya saja yang ini telah dimodifikasi jadi kelas bisnis (K2). Awalnya KRD Bumi Geulis menginap di Dipo Bogor namun dalam perkembangannya pindah ke Dipo Tanah Abang sekalian menjalani maintenance di sana.
KRD Bumi Geulis hanya punya dua kali jadwal pemberangkatan. Masing-masing satu dari Stasiun Sukabumi berangkat pagi dan satunya lagi berangkat sore dari Stasiun Bogor. Jadwal tersebut memang menyasar pekerja yang hendak bekerja di Jakarta. Ada hal unik di masa pengoperasian KRD Bumi Geulis terutama sejak pindah ke Dipo Tanah Abang.
Banyak penumpang dari Bogor yang ikut naik KRD Bumi Geulis ke Stasiun Tanah Abang. Biasanya dengan tiket setara KRL Pakuan Ekspres yang waktu itu masih beroperasi. Penumpang dari Sukabumi biasanya ada aja yang lanjut sampe Tanah Abang.
Keunikan ini bahkan berlanjut hingga ujicoba pola baru KRL Commuter Line. KRD Bumi Geulis tetap melayani penumpang bahkan yang naik dari Stasiun Sudirman dengan tiket setara KRL Commuter Line. Sayangnya di tahun itu pula (atau di 2012) KRD Bumi Geulis berhenti beroperasi karena gangguan teknis.
Terhentinya layanan KRD Bumi Geulis jelas mematikan lagi operasional Stasiun Sukabumi. Sementara perjalanan dari arah Cianjur belum ada sama sekali. Meski telah direnovasi dan restorasi, Terowongan Lampegan masih harus diuji kelayakan untuk dilewati kereta api.
KA Pangrango-Siliwangi dan Kembali Menapaki Kejayaan.
Kali ini Stasiun Sukabumi nggak sampai berlama-lama nggak ada deru suara roda dan semboyan 35 kereta api. Tanggal 9 November 2013, KA Pangrango beroperasi untuk pertama kalinya di rute Bogor-Sukabumi yang sebelumnya dilayani KRD Bumi Geulis. Bedanya kali ini nggak lagi pake rangkaian KRD MCW 302 maupun KRDE yang lebih baru.
Tapi pakai kereta biasa karena dinilai lebih cocok untuk lintas tersebut. Layanan KA Pangrango terdiri dari kereta eksekutif dan ekonomi AC dengan tarif komersial non-subsidi. Berangkatnya pun dari Halte Bogor Paledang yang terletak 1 km sebelah selatan Stasiun Bogor untuk memisahkan dengan layanan KRL Commuter Line di stasiun itu.
Selang sepekan kemudian menyusul KA Siliwangi di rute Sukabumi-Cianjur. Terlepas dari dinamika dan pasang surut yang ada seperti penggabungan layanan KA Pangrango-Siliwangi hingga perubahan status KA Siliwangi menjadi kereta api perintis bersubsidi, jalur kereta api tertua di bumi Parahyangan itu secara umum telah hidup lagi. Belum lagi ditambah layanan kereta api barang pengangkut Aqua dari Stasiun Cicurug ke Jakarta.
Peminat KA Pangrango dan Siliwangi sendiri sangat tinggi. Bahkan Tiket KA Pangrango kerap habis bila nggak buru-buru booking hingga H-1. KA Siliwangi bahkan diperpanjang rutenya ke Stasiun Ciranjang dan melewati satu bentang jembatan peninggalan sejarah, yakni Jembatan Cisokan. Itu artinya jalur legendaris ini tengah menapaki kembali masa kejayaannya seperti ketika dulu baru pertama kali beroperasi.
Stasiun Sukabumi dan Pandemi Covid-19
Di akhir tahun 2019, PT. KAI memberlakukan Gapeka 2019. Pemberlakuan ini memang nggak banyak mempengaruhi layanan KA Pangrango dan KA Siliwangi. Rutenya nggak berubah. Pangrango tetap Bogor Paledang – Sukabumi PP dan Siliwangi di rute Sukabumi – Ciranjang PP. Adapun untuk lintas dari Ciranjang ke Cipatat masih dalam tahap perbaikan lantaran relnya udah tua dan kerap diganggu longsor.
Pada 2 Maret 2020 pemerintah mengumumkan kasus pertama Covid-19. Virus yang pertama kali terdeteksi di Wuhan RRT itupun terus menyebar hingga terjadi transmisi lokal. Sebulan kemudian, Sejalan dengan kebijakan pembatasan ketat dari pemerintah, PT. KAI menghentikan seluruh operasional Kereta Api Jarak Menengah dan Jarak Jauh. Nah disinilah efek mulai dirasakan KA Pangrango dan KA Siliwangi. Dua-duanya harus berhenti beroperasi.
Kebijakan pemerintah itu juga akhirnya mematikan lagi jalur legendaris berikut stasiun-stasiunnya, termasuk Stasiun Sukabumi. Namun pembatasan itu ada hikmahnya. Perbaikan lintasan menuju Cipatat bisa dikebut. Sedangkan untuk Bogor-Sukabumi sekalian dibangun double track karena kedepannya akan dielektrifikasi dan dioperasikan KRL Commuter Line.
Hanya dalam hitungan bulan KA Siliwangi kembali beroperasi. Bahkan di tahun 2021 rutenya diperpanjang ke Cipatat sehingga menjadi Sukabumi-Cipatat. Setahun kemudian, meski double track baru sampai Cigombong, giliran KA Pangrango yang beroperasi.
Nggak tanggung-tanggung bawa trainset K3 16 atau ekonomi new image beserta 2 kereta eksekutif. Keberangkatannya pun bisa dari Stasiun Bogor meski tetap melayani penumpang dari Halte Bogor Paledang.
Jalur legendaris inipun tengah menuju kebangkitan. Apalagi bila nantinya double track tembus ke Stasiun Sukabumi, dielektrifikasi, hingga layanan KRL Commuter Line diperpanjang ke Sukabumi. Minat penumpang di sini sangat tinggi, nggak sebanding dengan operasional KA Pangrango yang cuma 6 perka: masing-masing 3 perka dari Sukabumi dan 3 perka dari Bogor. Makanya dibangun double track yang kedepannya dielektrifikasi.
Leave a Reply