Drama cegatan membuat kereta api Soreang seolah dirindukan. Coba bayangin bus Trans Metro Pasundan (TMB) dicekal angkot ijo di Hotel Soreang sehingga nggak bisa lanjut ke tujuan akhir, Gading Tutuka. Ironisnya lagi mereka melanggar trayek namun nggak ada tindakan apapun. Semoga lekas ada lagi meski dalam wujud lain.
Transportasi umum yang melayani mobilitas masyarakat dari Kota Bandung ke Soreang dan sebaliknya memang masih sangat minim. Bahkan yang layak itu nggak ada sama sekali. Karenanya rata-rata mobilitas masih menggunakan kendaraan pribadi maupun online.
Atas dasar itulah Kemenhub membuka rute Bus Rapid Transit dengan brand Trans Metro Pasundan (TMP) rute Terminal Leuwipanjang – Gading Tutuka Soreang. Bus tersebut beroperasi dengan skema Buy The Service (BTS) dimana nggak ada yang namanya setoran. Ada nggak ada penumpang kru tetap mendapat bayaran.
Namun sayang baru beberapa pekan beroperasi udah langsung ada cegatan dari angkot ijo yang menolak kehadiran mereka. Dianggapnya bakal mengurangi pendapatan. Padahal jelas-jelas jalurnya berbeda. Bus lewat Tol Soroja sedangkan angkot itu lewat Kopo atau jalur lama.
Akibatnya bus hanya mentok sampai di Hotel Soreang. Nggak bisa ke tujuan akhir Gading Tutuka. Kejadian yang sangat disayangkan padahal masyarakat berhak atas transportasi umum layak dan nyaman.
Usut punya usut ternyata angkot-angkot itu telah memonopoli konektivitas transportasi dari Soreang ke Kota Bandung dan sebaliknya. Udah berlangsung sejak lama. Makanya mereka seperti sok kuasa dan berani menjegal Trans Metro Pasundan (TMP) yang jelas-jelas program pemerintah pusat.
Kejadian ini seolah jadi flashback bahwa dulu pernah ada transportasi massal berbasis rel yang beroperasi di ibukota kabupaten Bandung tersebut. Sayangnya sekarang non-aktif. Seandainya itu masih ada dan jadi backbone?
Kereta Api Soreang, Bagian dari Bandung-Ciwidey
Berbicara tentang kereta api Soreang tentunya nggak boleh dilepaskan dari Jalur Kereta Api Bandung Ciwidey. Setelah jalur utama dari Buitenzorg ke Bandung rampung hingga konektivitas antara Batavia dengan Bandung terwujud.
Pemerintah kolonial Belanda melalui Staatspoorwegen mencoba untuk membangun lintas-lintas cabang yang langsung ke sentra hasil bumi. Salah satunya ialah rute ke Bandung Selatan. Dipilihlah trase Cikudapateuh – Soreang – Ciwidey.
Pembangunan dibagi dalam dua segmen yakni Bandung-Soreang dan Soreang-Ciwidey. Segmen pertama mulai beroperasi 13 Februari 1921 lebih cepat karena lintasannya datar. Menyusul segmen kedua pada 17 Juni 1924. Jarak 3 tahun lebih sedikit disebabkan kontur alam di segmen kedua ini yang lebih ekstrem dibanding pertama.
Oke, untuk saat ini kita nggak akan panjang lebar membahas tentang Ciwidey maupun jalur secara keseluruhan. Pembahasan akan lebih fokus pada si ular besi yang sebenarnya punya potensi menjadi backbone transportasi umum di Soreang andai tetap dipertahankan. Meski disisi lain segmen kedua telah ditutup untuk sementara waktu. Mengingat jalurnya yang ekstrem itu tadi.
Kontur Datar Jalur Kereta Api Soreang
Melihat dari sejarah pembangunannya, jalur kereta api Soreang lebih dulu dioperasikan. Boleh jadi karena lintas yang lebih datar dan landai. Tanpa ada tanjakan maupun turunan. Paling cuma jembatan Dayeuhkolot aja yang melintas di atas Sungai Citarum. Boleh dibilang inilah lintasan yang dibangun di tengah kota. Terlebih jaman dulu kawasan selatan Kota Bandung masih didominasi sawah dan ladang. Beda banget sama sekarang.
Segmen pertama ini dimulai dari Stasiun Cikudapateuh, asalnya stasiun ini hanyalah stopplaast (halte). Namun berkembang seiring perjalanan waktu hingga memiliki percabangan langsung ke Pasar Kosambi. Nah percabangan selanjutnya menuju Soreang sampai dengan Ciwidey. Dengan demikian nantinya kereta api pengangkut hasil bumi bisa langsung menuju Pasar atau ke kompleks pergudangan di Karees.
Dari Stasiun Cikudapateuh, relnya masih sejajar jalur utama sampai melewati lokasi yang sekarang jadi JPL Laswi dan Pusdiklat PT.KAI. Barulah kemudian sedikit berbelok ke kanan menuju sebuah halte bernama Cibangkong Lor. Disini juga pertemuan dengan jalur dari Karees.
Dari Cibangkong Lor lanjut ke Cibangkong. Dimana posisi haltenya nggak jauh dari Trans Studio Bandung sekarang. Ada sedikit catatan, hingga tahun 2000 petak ini sebetulnya masih berstatus semi aktif karena masih dipakai oleh TNI untuk angkutan Kavaleri.
Dari Halte Cibangkong rel terus menuju selatan ke Buahbatu, Bojongsoang, Dayeuhkolot lantas menyeberangi jembatan sungai Citarum. Sehabis jembatan ada percabangan arah Majalaya. Lanjut ke Kulalet, Pamengpeuk, Cikupa, Banjaran, Cangkuan, Citaliktik dan berakhir di Stasiun Soreang. Seluruhnya adalah lintasan datar dengan ketinggian yang masih sama dengan jalur utama.
PLH Cukanghaur dan Penutupan Jalur
Kereta Api Soreang yang sepaket dengan Ciwidey sempat mengalami masa keemasan di era kolonial Belanda. Itu nggak lepas dari kemudahan dalam angkutan hasil bumi. Kawasan Ciwidey memang dikenal sebagai daerah perkebunan sejak dulu.
Penghasil teh, kopi, juga sayur-sayuran banyak berasal dari sini. Terlebih jalur kereta api juga berlanjut hingga ke Gudang Karees dan Pasar Kosambi. Selain angkutan hasil bumi, kereta api juga digunakan untuk mengangkut penumpang. Kejayaan yang masih berlanjut hingga Indonesia Merdeka.
Sayangnya di pertengahan dekade 1960-an, terjadi gejolak politik yang berujung pada transisi kekuasaan dari era Orde Lama ke Orde Baru. Guncangan politik ini juga ikut mengguncang dunia perkeretaapian. Bahkan dekade ini dikenal dengan zaman kegelapan di perkeretaapian Indonesia. Terutama hingga tahun 1966 atau jelang pergantian rezim. Turbulensi sangat terasa di lintas-lintas cabang. Tak terkecuali di jalur kereta api Soreang Ciwidey.
Orde Baru di satu sisi memang membawa harapan baru akan adanya perbaikan di bidang perekonomian. Memang benar perlahan tapi pasti ekonomi membaik namun itu nggak begitu dirasakan di dunia perkeretaapian apalagi bila bicara tentang lintas-lintas cabang. Justru yang ada banyak terjadi penutupan karena dianggap nggak punya prospek. Jalur rusak pun dibiarkan mangkrak. Perhatian memang lebih diarahkan di lintas utama.
Di sisi lain rezim Orde Baru malah makin gencar membangun infrastruktur jalan raya dan memanjakan industry otomotif. Makanya jangan heran bila banyak bermunculan moda-moda transportasi umum berbasis minibus yang kelak akan kita kenal dengan sebutan angkot.
Nah inilah yang akhirnya menyisihkan si ular besi di lintas-lintas cabang. Ditambah rutenya pun bersinggungan dan sama percis. Angkutan hasil bumi pun beralih ke roda karet. Menggunakan pick up dan truck.
Menjelang dekade 1970-an jalur Ciwidey bahkan udah nggak lagi melayani angkutan penumpang. Hanya melayani angkutan barang dalam jumlah terbatas dan masih mengandalkan lokomotif uap yang sudah semakin tua. Lintasan ekstrem membuat lokomotif diesel nggak bisa tembus hingga Ciwidey dan mentok di Soreang. Karenanya sekalipun dulu masih ada layanan penumpang dengan kereta diesel ya mentok di Soreang.
Puncaknya di bulan Juli 1972, ketika sebuah rangkaian kereta barang pengangkut gelonggongan dan belerang bergerak dari Stasiun Ciwidey ke arah Bandung. Muatan tersebut sedianya akan dikirim ke Jakarta via Bandung. Kereta berjalan sangat pelan ketika melintas di Cukanghaur dengan kontur rel menurun.
Muatan berlebih membuat kereta oleng hingga akhirnya terguling ke sawah beserta 3 orang kru dan muatannya. Ketiga kru kereta tadi semuanya meninggal dunia, satu diantaranya ialah Kepala Stasiun Ciwidey yang ikut dalam perjalanan.
Sejak PLH Cukanghaur nggak ada lagi layanan kereta api ke Ciwidey. Perbaikan di TKP pun hanya dilakukan seadanya. Bukti nyata bahwa rezim memang nggak ada perhatiannya sama sekali pada lintas-lintas cabang. Kelak hal serupa pun akan terjadi di Jembatan Tempuran yang dibiarkan rusak hingga menutup jalur kereta api Yogyakarta Magelang.
Balik lagi ke sini, praktis sekarang tinggal segmen Bandung-Soreang aja yang tersisa dan dalam kondisi megap-megap. Nggak kuat menghadapi kerasnya persaingan dengan ban karet. Sekalipun masih bisa dioperasikan lokomotif dan kereta diesel.
Tanggal 1 Februari 1982 atau hampir 10 tahun setelah PLH Cukanghaur, penutupan jalur kereta api Cikudapateuh Soreang Ciwidey pun tak terelakkan lagi. Sejak itu mulailah era baru okupasi lahan-lahan bekas jalur kereta api. Pelan tapi pasti jalur rel kereta tertutup bangunan semi-permanen hingga permanen.
Kereta Api Soreang Tanpa Dukungan
Sebetulnya kalo mau diurus dengan serius, Kereta Api Soreang masih bisa dioptimalkan. Perawatannya pun nggak sebesar segmen Ciwidey yang banyak jalur ekstrem. Namun itu jelas butuh dukungan dari Pemda setempat dan dinas terkait. Adapun PJKA waktu itu hanyalah operator. Jadi semua butuh sinergi dan inilah biang masalah hingga sekarang. PJKA dan kini PT.KAI seringkali dibiarkan jalan sendiri tanpa ada dukungan yang lebih serius.
Di zaman itu juga belum terpikir untuk membangun Transit Oriented Development (TOD) atau integrasi antarmoda. Padahal Belanda ketika masih berkuasa di sini udah pernah memperkenalkan sistem tersebut. Bahkan Jepang telah menerapkan itu sejak era Taisho.
Melalui layanan Fuji Blue Train Japan dari Tokyo ke Shimonoseki kemudian lanjut layanan ferry ke Busan, Korea, yang waktu itu masih jadi bagian dari Kekaisaran Jepang. Skema tersebut sangat memungkinkan konektivitas dari Jepang ke Eropa via Semenanjung Korea, Manchuria, dan Rusia.
Kereta Api Soreang yang harusnya bisa jadi backbone akhirnya hilang bagai ditelan bumi. Pasca penutupan jalur kereta api legendaris itu mulailah dibangun rumah-rumah semi permanen hingga permanen di sepanjang rel kereta api.
Disinilah Semuanya Bermula
Padahal Soreang kala itu masih krisis transportasi umum. Terlebih setelah penutupan jalur kereta api. Pernah ada layanan Damri dari Alun-Alun Kota Bandung. Namun akhirnya harus berhenti. Lantas munculah transportasi umum berbasis minibus alias angkot. Dimana fenomena ini sejatinya mulai muncul sejak awal Orde Baru. Dampak dari rezim yang sangat memanjakan Industri otomotif.
Untuk Soreang awlanya muncul rute Margahayu-Soreang yang dikelola Pemerintah Kabupaten Bandung. Bersamaan dengan itu pula rute Kebon Kalapa-Margahayu dibawah Pemkot Bandung. Namun masing-masing kru angkot seringkali bandel dan melanggar trayek.
Misalnya dari Margahayu bablas ke Kebon Kalapa begitupun sebaliknya, harusnya berhenti di Margahayu malah lanjut Soreang. Hingga di pertengahan 1990-an bersamaan pengoperasian Terminal Leuwipanjang, Pemprov Jabar mengambil alih operasional angkot ini dan menyatukannya dalam rute Leuwipanjang-Soreang via Kopo. Meski tetap aja bandel bablas ke Kebon Kalapa.
Nah makanya itu segala yang terjadi akhir-akhir ini menimpa layanan bus Trans Metro Pasundan (TMP) yang digadang-gadang akan jadi proyek modernisasi transportasi di Jawa Barat, termasuk Bandung Raya, itu nggak bisa lepas dari dihentikannya layanan kereta api Soreang. Lantaran nggak dapat dukungan dari Pemda setempat. Padahal PJKA kalo mau jalan mah bisa aja. Namun sekali lagi PJKA (dan kini KAI) itu nggak bisa sendiri.
Terhentinya si ular besi memunculkan fenomena baru yakni transportasi berbasis minibus alias angkot. Jumlah mereka pun kian hari terus bertambah. Bahkan bila dihitung kini telah ada ribuan armada. Tiadanya transportasi umum ke sana membuat mereka merasa berkuasa. Ditambah pengelolaan oleh Pemprov itu tadi. Sekalipun angkot-angkot itu melanggar trayek karena akses tol itu bukan jalur mereka.
Kereta Api Soreang Dalam Wujud Lain
Baru-baru ini muncul wacana pembangunan jalur LRT antara Leuwipanjang dan Soreang. Nggak hanya itu, LRT juga akan menghubungkan Kota Bandung dengan daerah penyangga lainnya seperti Banjaran dan Majalaya. Dimana daerah-daerah itu dulunya pernah memiliki jalur kereta api.
Wacana yang memunculkan harapan baru akan keberadaan si ular besi yang telah menghilang selama 40 tahun lebih. Semoga saja nantinya LRT itu bisa direalisasikan. Bukan lagi sebatas wacana dan seremonial seperti yang sudah-sudah. Keberadaan LRT Soreang artinya telah mengembalikan Kereta Api Soreang. Meski dalam wujud lain.
Leave a Reply