Kereta Sultan Pakubuwono X : Bukan Sekedar Monumen Statis

kereta sultan pakubuwono x bukan sekedar monumen statis

Dua Kereta Sultan Pakubuwono X yakni Kereta Pelesir (ILW4) dan Kereta Jenazah. Di satu sisi terlihat seperti monumen statis pada umumnya. Namun lebih dari itu jadi saksi kejayaan Kesunanan Surakarta dan Perkeretaapian indonesia.

Pendahuluan

Jika berbicara tentang Surakarta atau Solo pastinya akan tertuju ke Vortenslanden. Sebuah istilah dari Pemerintah Kolonial Belanda yang berarti tanah para raja. Wilayah Surakarta Hadiningrat adalah satu dari dua yang tersisa dari kejayaan Kesultanan Mataram.

Di sini terdapat dua wilayah kekuasaan yakni Kesunanan Surakarta dibawah pimpinan Pakubuwono. Satunya lagi ialah Pura Mangkunegaran dengan Mangkunegara sebagai pemimpin. Kedua wilayah ini telah memiliki jaringan kereta api. Namun ada hal unik di sisi Kesunanan Surakarta.

Keberadaan dua kereta di Alun Alun Kidul yang saat ini jadi monumen statis. Keduanya juga benda pusaka milik Kraton. Lebih dari itu merupakan dua aset sejarah sekaligus. Mengapa demikian?

alun alun kidul kota surakarta

Surakarta Hadinigrat di Era Pakubuwono X

Sebelum melangkah lebih jauh sekilas akan kita bahas dulu tentang Kesunanan Surakarta di masa pemerintahan Pakubuwono X. Raden Mas Sayiddin Malikul Kusno alias Pakubuwono X naik tahta pada tahun 1893. Menggantikan mendiang ayahnya, Pakubuwono IX.

Banyak perkembangan dan kemajuan di Surakarata pada masa pemerintahan Sultan Pakubuwono X. Surakarta pada saat itu menjadi satu dari lima kota metropolitan di Hindia Belanda. Salah satu bukti dari kemajuan tersebut ialah keberhasilan dalam membangun berbagai infrastruktur. Diantaranya ialah perkeretaapian.

Dua stasiun telah dibangun di wilayah Kesunanan Surakarta. Stasiun Solo Jebres dan Stasiun Sangkrah (Solo Kota). Kasunanan Surakarta itu sendiri merupakan sisa wilayah Kesultanan Mataram yang masuk dalam Vortenslanden (tanah para raja).

Meski Stasiun Solo Jebres telah ada sejak 1884, ketika Pakubuwono IX masih berkuasa. Bukan hanya dua stasiun beserta jaringannya saja. Kesunanan Surakarta juga mendatangkan dua kereta. Seolah melengkapi keberadaan si ular besi di Vortenslanden. Apa sajakah dua kereta itu?

Kereta Sultan Pakubuwono X : Untuk Pelesiran dan Mengantar Jenazah

Dua kereta didatangkan Kesunanan Surakarta. Kereta Sultan Pakubuwono X. Pertama sebuah kereta khusus yang akan mengantarkan Sultan beserta jajarannya mengunjungi sejumlah kota. Baik masih dalam wilayah Kesunanan maupun daerah lainnya (istilahnya “mancanegara”).

Dengan kode ILW4, kereta Sultan Pakubuwono X ini stand by di Stasiun Solo Jebres. Dari lokasinya jelas spesifikasi kereta ini untuk lebar spoor 1.067 mm. Secara stasiunnya juga dioperasikan Staats Spoorwegen (SS).

Satu kereta lagi dipersiapkan khusus untuk persiapan ketika Sultan mangkat. Sebagai salah satu pewaris Kesultanan Mataram, Kesunanan Surakarta (Kraton) tetap menjaga salah satu tradisinya. Memakamkan sultan yang telah wafat di Pemakaman Raja Raja Mataram, Imogiri Bantul Jogjakarta.

Dari Surakarta ke Jogja jelas membutuhkan transportasi yang cepat, handal, dan efisien. Waktu itu kereta api paling memenuhi kriteria. Beda dengan untuk pelesiran, kereta jenazah ini spesifikasinya untuk lebar spoor 1.435 mm.

Kereta Sultan Pakubuwono X : ILW4 Untuk Blusukan (Sempat Jadi Kereta Inspeksi PJKA)

Kereta pertama adalah jenis ILW4 yang dipakai Sultan Pakubuwono X untuk melakukan kunjungan ke berbagai tempat. Biasanya untuk blusukan ke pabri-pabrik gula yang ada di sekitar Surakarta Hadiningrat. Kereta ini stand by di Stasiun Solo Jebres yang telah memiliki ruangan khusus untuk Sultan di sayap barat.

Karena di Stasiun Solo Jebres, udah pasti spesifikasinya untuk lebar spoor 1.067 mm. Sultan Pakubuwono X melakukan blusukan atau pelesiran dengan kereta ini di jalur kereta api Staats Spoorwegen (SS) – Oosterlijnen. Sepeninggal beliau, kereta ini masih tetap eksis.

Bahkan pasca kemerdekaan PJKA pernah memanfaatkannya untuk kereta inspeksi. Loko PJKA yang ada di pintu adalah bukti. Sempat berada di Semarang, kereta ILW4 akhirnya “pulang kampung” ke Surakarta dan jadi monumen statis di Alun Alun Kidul. Lebih dari itu pihak Kraton Surakarta Hadiningrat juga menjadikannya benda pusaka.

kereta sultan pakubuwono x untuk pelesiran semisal ke pabrik gula

Kereta Sultan Pakubuwono X : Antarkan ke Peristirahatan Terakhir (Saksi Jalur Ngabean Pundong)

Kereta kedua adalah kereta jenazah. Digunakan untuk mengantarkan jenazah sultan menuju titik terdekat ke peristirahatan terakhir. Makam Raja-Raja Mataram di Imogiri Bantul. Ketika Sultan Pakubuwono X mangkat pada 1939, kereta ini yang mengantarkan jenazah beliau.

Memulai perjalanan dari Stasiun Solo Balapan menuju Stasiun Pasar Gede. Dari situ pengantaran jenazah lanjut menggunakan kereta kuda sampai ke Imogiri. Namun sayangnya kereta ini hanya sekali digunakan untuk prosesi pengantaran jenazah Sultan Pakubuwono X saja.

Tiga tahun setelahnya, Jepang menguasai Hindia Belanda. Termasuk wilayah Vortenslanden. Terjadi banyak perubahan di perkeretaapian. Seperti Lintas Kereta Api Mataram (Vortenslanden) dari lebar spoor 1.435 mm ke 1.067 mm. Kemudian lintas Ngabean Pundong juga ditutup total, termasuk Stasiun Pasar Gede.

Kereta jenazah ini sendiri sebetulnya sempat mengalami penyesuaian. Awalnya untuk 1.435 mm kemudian dimodifikasi ke 1.067 mm. Namun perubahan itu hanya untuk menjadikannya benda pusaka Kraton sekaligus monumen statis di Alun Alun Kidul. Terlepas dari itu semua, kereta jenazah ini merupakan saksi keberadaan Lintas Ngabean Pundong.

kereta jenazah pakubuwono x saksi jalur ngabean pundong

Aset Dua Sejarah Sekaligus : Kesunanan Surakarta dan Perkeretaapian Indonesia

Walaupun hanya digunakan sebentar dan secara khusus untuk keperluan Sultan, dua kereta ini merupakan aset dua sejarah sekaligus. Pertama jelas aset Kesunanan Surakarta (sekarang Kraton Surakarta Hadiningrat). Sebagai benda pusaka tentunya. Lebih dari itu juga bukti bahwa wilayah ini pernah mengalami masa keemasan ketika Sultan Pakubuwono X memerintah.

Kedua, walaupun bukan untuk masyarakat umum, baik kereta pelesir maupun jenazah tetap merupakan aset perkeretaapian Indonesia. Keduanya juga merupakan saksi sejarah. Terlebih kereta jenazah yang menjadi saksi bahwa pernah ada jalur kereta api dari Ngabean ke Pundong. Dengan Stasiun Pasar Gede sebagai pemberhentiannya.

Ditambah lagi bukti bahwa di Indonesia dulu pernah ada dua spoor berbeda yakni 1.435 mm dan 1.067 mm. Kereta Jenazah dengan keperluan mengantar jenazah Sultan ketika mangkat ke Stasiun Pasar Gede (sebelum lanjut Imogiri) berjalan di spoor 1.435 mm. Sedangkan kereta pelesiran ILW4 yang stand by di Stasiun Solo Jebres jelas mengguakan lintas dengan spoor 1.067 mm.

Meski pada akhirnya kereta jenazah itu mengalami penyesuaian ke spoor 1.067 mm setelah kedatangan Jepang. Sayang hanya digunakan sekali saja ketika prosesi pemakaman Sultan Pakubuwono X.

lokasi dua aset masih tahap revitalisasi

Kesimpulan

Dua Kereta Sultan Pakubuwono X merupakan benda pusaka Kraton Surakarta Hadiningrat. Sekaligus merupakan monumen statis yang berdiri di Alun Alun Kidul. Dibalik itu semua keduanya merupakan aset dua sejarah yakni kejayaan Kesunanan Surakarta dan Perkeretaapian Indonesia.

Terutama bukti bahwa pernah ada dua lebar spoor berbeda, 1.435 mm dan 1.067 mm. Juga bukti keberadaan Jalur Kereta Ngabean Pundong dengan Stasiun Pasar Gede sebagai bagiannya. Khususnya ketika kereta jenazah ambil bagian dalam prosesi pemakaman Sultan Pakubuwono X.

Comments

Leave a Reply