Stasiun Tuntang : Masih Sebatas Persinggahan Kereta Wisata

stasiun tuntang masih sebatas persinggahan

Stasiun Tuntang pernah menjadi bagian dari percabangan lintas utama NISM. Namun selepas perubahan fungsi Ambarawa otomatis berdampak juga ke sini. Dimana hanya sebatas persinggahan kereta wisata. Sambil menunggu reaktivasi.

Prologue

Guna memperlancar mobilitas militer ke Semarang, Solo dan Yogyakarta, NISM membuat percabangan lintas utama dari Kedungjati ke Ambarawa. Bila diukur dari Kedungjati di lintas utama waktu itu jalurnya mengarah ke barat. Sedangkan jalur utama terus ke selatan sampai Lintas Kereta Api Mataram (Vortenslanden).

Segmen Kedungjati – Ambarawa masih menggunakan standard gaunge 1.435 mm sebagaimana jalur utama NISM secara umum. Melewati beberapa stasiun dan Danau Rawapenging di daerah Banyubiru, Ungaran, Kabupaten Semarang. Nah sebelum ketemu Rawapening terdapat sebuah stasiun yang masih aktif hingga sekarang.

Stasiun Tuntang : Tepi Sungai Dekat Rawapening

Nah stasiun ini bernama Tuntang. Sesuai dengan nama daerah di Kabupaten Semarang ini. Sama seperti Stasiun Ambarawa (Willem I) mulai beroperasi pada tahun 1873 dan merupakan bagian dari segmen Kedungjati – Ambarawa.

Di sisi utara terdapat Sungai Tuntang yang berasal dari Danau Rawapening. Bila dilihat cukup besar memang. Bahkan bisa dilayari perahu berukuran kecil. Jadi nama stasiun juga diambil dari sungai yang berada di dekatnya. Jarak dari Rawapening hanya beberapa meter saja arah barat.

Stasiun Tuntang dan Berbagai Dinamika

Seiring berjalannya waktu, stasiun di tepian sungai ini pun mengalami banyak dinamika. Mengikuti perjalanan sejarah. Seperti juga percabangan Kedungjati – Tuntang, keberadaannya nggak bisa dilepaskan dari kepentingan militer pemerintah Kolonial Belanda. Walapun tetap ada layanan untuk umum sebagaimana di Stasiun Ambarawa.

Kedatangan Jepang di tahun 1942 pun memberi dampak pada stasiun ini. Khususnya perubahan lebar spoor menjadi 1.067 mm. Di saat banyak lintas cabang peninggalan NISM yang ditutup (seperti Kereta Api Yogyakarta Kotagede hingga Pundong), pihak Jepang tetap mempertahankan segmen ini karena dianggap penting untuk militer.

Pasca kemerdekaan masih tetap beroperasi hingga memasuki dekade 1970-an. Disinilah Stasiun Tuntang mulai mengalami periode surut. Mulai ada persaingan dengan angkutan jalan raya. Ditambah lagi terjadi bencana banjir di Tempuran yang memutus percabangan dari Kedungjati.

Puncaknya di tahun 1976. Banjir lahar dingin Gunung Merapi di Kali Krasak memutus Jembatan Tempel sehingga jalur kereta api Yogyakarta Ambarawa via Magelang harus di non aktifkan. Praktis sejak itu hubungan dengan Lintas Kereta Api Mataram (Vortenslanden) terputus total.

Stasiun Tuntang : Bagian dari Museum Kereta Api Ambarawa

Namun PJKA waktu itu memiliki ide untuk membuat museum kereta api dengan memanfaatkan sisa jalur kereta api Kedungjati Ambarawa Yogyakarta. Dipilihlah segmen Tuntang Bedono via Stasiun Ambarawa untuk dimanfaatkan sebagai museum sejarah. Tentu hal ini juga dalam rangka penyelamatan asset.

Tahun 1976 Stasiun Ambarawa beralih fungsi dari layanan penumpang jadi wisata sejarah dalam bentuk museum. Hal yang sama juga berlaku di Tuntang, Jambu, dan Bedono. Ketiganya menjadi bagian tak terpisahkan dari Museum Kereta Api Ambarawa.

Masih Eksis Jadi Persinggahan Kereta Wisata Reguler

Saat ini layanan kereta wisata dibagi 2 yakni reguler dan sewa. Perjalanan reguler tersedia di akhir pekan dan hari libur nasional di rute Ambarawa Tuntang PP. Menggunakan kereta kayu yang ditarik lokomotif diesel. Kereta ini juga bisa disewa diluar itu bersama dengan lokomotif uap. Tentunya dengan tarif berbeda.

Format perjalanan pulang pergi menjadikan Stasiun Tuntang sebagai persinggahan kereta wisata sebelum balik lagi ke Stasiun Ambarawa. Di sini penumpang boleh turun untuk ke toilet atau mengabadikan stasiun tua ini dalam bentuk foto atau video.

Gudang Logistik, Dipo Lokomotif, dan Rencana Reaktivasi

Stasiun Tuntang memiliki fasilitas gudang logistik. Hal ini sekaligus menjadi bukti bahwa pembukaan jalur kereta api tahun 1873 dan seterusnya bukan sebatas angkutan militer. Ternyata juga untuk mengangkut hasil bumi yang nantinya akan dikirim via Pelabuhan Semarang. Disamping tentunya layanan penumpang.

Gudang logistik masih terawat. Bahkan di emplasemen juga tersimpan timbangan tua. Selain itu stasiun ternyata memiliki bangunan Dipo Lokomotif. Memang direncanakan lokomotif diesel tua yang telah diaktifkan lagi akan disimpan di sini. Sebagai bagian dari Museum Ambarawa.

Nggak hanya itu, Stasiun Tuntang berikut jalur menuju Kedungjati pernah diwacanakan untuk reaktivasi tahun 2014. Namun sayangnya karena adanya kepentingan untuk menyelesaikan proyek LRT Jabodebek, Sumsel dan Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) rencana tersebut harus tertunda.

Diharapkan dengan rampungnya semua PSN itu reaktivasi segmen Kedungjati bisa dilanjutkan. Sebab nantinya akan menghidupkan lagi denyut perekonomian. Karena akan tersambung ke Semarang, Lintas kereta Api Mataram, hingga Jalur Kereta Pantura. Jika terealisasi stasiun ini nantinya bukan lagi sekedar tempat persinggahan Kereta Wisata.

Galeri Foto

Comments

2 responses to “Stasiun Tuntang : Masih Sebatas Persinggahan Kereta Wisata”

Leave a Reply