Tadinya nggak dilirik tapi Jalur Kereta Pantura Timur dibangun setelah pemerintah kolonial menemukan cadangan minyak di Cepu. Terdiri dari dua segmen dimana salah satunya merupakan lintas padat.
Prologue
Konektivitas Batavia dan Surabaya sejatinya telah tersambung sejak 1894, dan setelahnya terus dipersingkan dengan membangun sejumlah shortcut seperti Jalur KA Cikampek Padalarang (1902-1906) hingga Jalur KA Cirebon Kroya (1912-1917).
Semua jalur tersebut dibangun langsung pemerintah kolonial lewat Perusahaan negara SS (Staats Spoorwegen). Termasuk lewat akuisisi dari Perusahaan swasta BOS untuk membangun Jalur KA Cikampek Padalarang. Semuanya lewat jalur selatan.
Adapun Jalur Kereta Pantura waktu itu masih terputus di Kota Semarang. Stasiun Semarang Poncol dan Tawang masing-masing adalah terminus dan dioperasikan oleh perusahaan swasta berbeda. Pemerintah Kolonial menganggap jalur selatan udah cukup jadi akses utama Batavia Surabaya. Sehingga kurang melirik segmen utara.
Jalur Kereta Pantura Timur : Dianggap Kurang Prospek.
Pemerintah Kolonial sempat ingin membangun rel kereta api di sini. Namun pihak NISM selaku operator melihat bahwa sisi timur Pantura Jawa itu adalah daerah yang jarang penduduknya. Hasil bumi juga nggak seberapa.
NISM sebagai perusahaan swasta tentu sangat memperhitungkan untung rugi membangun jalur kereta api di daerah tertentu. Nah untuk Pantura Timur ini menurut penilaian NISM kurang prospek.
Jalur Kereta Pantura Timur : Penemuan Cadangan Minyak di Cepu
Beberapa waktu kemudian tersiar berita penemuan cadangan minyak di Cepu. Mendengar berita ini pihak NISM menangkap peluang bisnis untuk membuka jalur kereta api. Lantas meminta konsesi ke pemerintah kolonial Belanda dan diberikan pada tahun 1896 untuk membangun lintas Surabaya – Gundih.
Jalur yang akan dibangun ini rencananya tersambung dengan jalur pertama di Indonesia. Bedanya jika jalur pertama dari Semarang hingga Lintas Kereta Api Mataram (Vortenslanden) lebar spoor 1.435 mm, segmen Surabaya Gundih pakai 1.067 mm.
Jalur Kereta Pantura Timur: Lintas Surabaya – Gundih
Tahap pertama dibangun Lintas Surabaya Gundih via Cepu. Di dalamnya termasuk Spoor Lamongan. Sebuah segmen khusus Surabaya Lamongan untuk layanan tram. Pembangunan berlangsung selama 3 tahun (1900-1903).
Stasiun Gundih sebagai titik akhir adalah bagian dari segmen Semarang ke Lintas Kereta Api Mataram (Vortenslanden) yang merupakan jalur pertama di Indonesia. Nah disinilah penumpang berganti kereta lanjut Semarang atau Solo dan Jogja karena jalur menggunakan spoor 1.435 mm.
Surabaya ke Semarang Tanpa Transit
Ritual transit di Stasiun Gundih berlangsung hingga awal dekade 1920-an. Pada tahun 1924 NISM membuka konektivitas langsung dari Gambringan hingga Semarang dengan spoor 1.067 mm. Jalur inilah yang sekarang dipakai Trip Kereta Api Kedungsepur Semarang – Ngrombo PP.
Posisi Stasiun Ngrombo ada di sebelah timur Gambringan atau dengan kata lain jaraknya satu petak. Keberadaan jalur kereta Semarang Ngrombo (baru) yang juga melewati Stasiun Gubug Grobogan ini makin melengkapi Jalur Kereta Panturan Timur.
Kondisi Saat Ini : Segmen Pertama Untuk Darurat
Sayangnya segmen Gambringan – Gundih yang paling awal dibangun malah jarang dilewati kereta api. Terutama setelah kereta ketel Pertamina dari Cepu berhenti beroperasi. Gapeka 2019 sebetulnya sempat memberi angin segar lewat pengoperasian KA Sancaka Utara.
Pandemi Covid-19 lantas membuyarkan semuanya. KA Sancaka Utara dihapus di Gapeka 2023 karena ketiadaan sarana trainset juga okupansi yang nggak terlalu baik. Praktis lintas ini hanya ramai bila dalam kondisi darurat. Justru jalur kedua yang lewat Stasiun Ngrombo malah jadi jalur penting untuk lalu lintas kereta api.
Jalur Kereta Semarang Ngrombo ditambah Gambringan itu malah lebih ramai dilewati kereta api penumpang dan angkutan barang. Sampai menjadi bagian dari Double Track dari Jakarta langsung Surabaya.
Kesimpulan
Jalur Kereta Pantura Timur dibangun NISM sebagai respon atas penemuan cadangan minyak bumi di Cepu. Pertama kali dibuka lintas Surabaya Gundih, termasuk Spoor Lamongan, dengan spoor 1.067 mm.
Tahun 1924 NISM membuka lagi segmen kedua dari Gambringan ke Semarang via Stasiun Ngrombo yang otomatis meniadakan transit di Gundih hanya untuk pindah ke spoor 1.435 mm. Inilah yang sekarang jadi jalur vital hingga dibuat Double Track. Sedangkan segmen pertama lebih difungsikan untuk darurat.
Leave a Reply