Dari halte upgrade jadi stasiun tahun 1897, Stasiun Kereta Surabaya Gubeng nggak pernah terpikirkan menjadi sentral. Justru peran itu akan diambil Soerabaia Hoog yang akhirnya gagal karena Krisis Ekonomi dan Perang Dunia ke-2. Namun di tahun 2014 stasiun ini mengambil alih peran sebagai sentral (utama).
- Pendahuluan
- Lanjutan Empat Pembahasan
- Perkeretaapian Surabaya di Era Kolonial : Terpisahnya Dua Stasiun Utama (Coba disatukan Soerabaia Hoog)
- Stasiun Kereta Surabaya Gubeng Upgrade Tahun 1897 (Ada Trans Jawa)
- Stasiun Kereta Surabaya Gubeng : Bukan Stasiun Utama
- Stasiun Kereta Surabaya Gubeng : Sebenarnya Nyambung Pasar Turi Tapi Nggak Langsung
- Terhambat Akibat Krisis Ekonomi dan Perang Dunia ke-2 Hingga Nggak Pernah Terwujud
- Stasiun Kereta Surabaya Gubeng : Mulai Ambil Alih Layanan KA Jarak Jauh
- Stasiun Kereta Surabaya Gubeng : Jadi Stasiun Sentral Gantikan Soerabaia Hoog
- Kesimpulan
Pendahuluan
Di era Kolonial Belanda sebetulnya pernah ada sebuah proyek besar untuk menata perkeretaapian di Surabaya. Dari permasalahan dua titik terminus yakni Stasiun Surabaya Pasar Turi1 dan Stasiun Surabaya Kota. Dimana yang kedua punya persoalan yang lumayan kompleks yakni overcapacity.
Pemerintah Kota waktu itu punya rencana membangun satu stasiun sentral yang akan melayani perjalanan kereta NISM dan SS. Pembangunan viaduct dengan menjadikan rel kereta api elevated adalah langkah awal. Pengoperasian Dipo Sidotopo mulai 1923 merupakan satu bagian dari proyek ini. Dipo terbesar itu memiliki konektivitas langsung dengan Stasiun Surabaya Pasar Turi.
Sayang proyek besar ini justru banyak menemui hambatan. Mulai dari Perang Dunia ke-1 yang lanjut pada Krisis Ekonomi. Kemudian pertengahan dekade 1930-an pecah Perang Dunia ke-2. Hingga Kekaisaran Jepang menguasai Indonesia tahun 1942 proyek ini hanya menyelesaikan segmen Sidotopo-Pasar Turi.
Rencana menyatukan operasional di Stasiun Soerabaia Hoog gagal total. Bahkan hanya meninggalkan Viaduk Ngaglik yang jadi monumen mangkrak. Sekarang justru menjadi akses penyeberangan antar kampung. Stasiun sentral di Surabaya baru bisa terwujud pada tahun 2014. di Stasiun Surabaya Gubeng.
Lanjutan Empat Pembahasan
Sebelum lanjut, pembahasan kali ini merupakan lanjutan dari tiga pembahasan sekaligus. Pertama adalah Stasiun Surabaya Gubeng : Dari Halte Jadi Utama. Kedua, Stasiun Surabaya Pasar Turi : Pintu Masuk Jalur Kereta Pantura. Ketiga, Stasiun Surabaya Kota : Pertama dan Tertua di Kota Pahlawan. Keempat, Viaduk Ngaglik dan Gagalnya Proyek Stasiun Soerabaia Hoog.
Tentu pembahasan pertama berkaitan langsung karena sama-sama tentang Stasiun Surabaya Gubeng. Tapi pada pembahasan pertama itu belum sempat disinggung apa yang menjadi latar belakang Surabaya Gubeng jadi stasiun utama.
Sedangkan pembahasan kedua, ketiga, dan keempat adalah pelengkapnya. Karena satu sama lain akan sangat berkaitan. Terutama pembahasan ketiga yang akan menjadi sumber permasalahan kenapa Surabaya membutuhkan sebuah stasiun sentral.
Perkeretaapian Surabaya di Era Kolonial : Terpisahnya Dua Stasiun Utama (Coba disatukan Soerabaia Hoog)
Di era kolonial Kota Surabaya punya dua stasiun utama. Pertama tentu saja Stasiun Surabaya Kota milik Staats Spoorwegen (SS) yang mulai beroperasi tahun 1878. Stasiun ini merupakan terminus jaringan kereta api lintas timur milik operator pemerintah Kolonial Belanda itu. Dengan nama Oosterlijnen.
Kemudian, NISM mulai mengembangkan Jalur Kereta Pantura Timur setelah cadangan minyak ditemukan di Cepu. Dengan Stasiun Surabaya Pasar Turi sebagai titik terminus. Jalur kereta dikembangkan bertahap 1900-1903 hingga Stasiun Gundih. Kemudian pada 1924 dibuat konektivitas langsung dengan Stasun Semarang Tawang via Stasiun Ngrombo.
Sayangnya kedua stasiun utama itu merupakan terminus atau ujung. Satu dengan lainnya terpisah. Penumpang Pantura yang akan ke Malang misalnya harus naik dokar dulu ke Surabaya Kota. Begitupun sebaliknya yang akan lanjut ke Pantura. Berbagai permasalahan pun muncul.
Stasiun Surabaya Kota Overcapacity
Boleh dibilang ini memperparah persoalan. Stasiun Surabaya Kota semakin lama jadi overcapacity. Apalagi dengan terbangunnya Jalur Trans Jawa pada 1894. Menyusul sejumlah shortcut yang bisa mempercepat perjalanan dari Batavia ke Surabaya. Salah satunya Jalur KA Cirebon Kroya (1912-1917).
Kondisi itu membuat stasiun menjadi sangat padat bahkan udah nggak lagi memadai. Terlebih bukan hanya layanan penumpang, angkutan barang dan Dipo juga masih memanfaatkan emplasemen Stasiun Surabaya Kota2.
Kemacetan di Pintu Perlintasan
Semakin banyak perjalanan kereta api membuat pintu perlintasan di sekitar Stasiun Surabaya Kota semakin sering melakukan buka tutup. Hal ini menimbulkan masalah lalu lintas di Jalan Raya sekitarnya. Kemacetan seringkali terjadi di sana. Ini tentu menggangu penumpang yang akan berpindah antar stasiun naik dokar.
Rencana Pembangunan Stasiun Sentral Soerabaia Hoog
Tahun 1910 Pemerintah Kolonial mencoba memecahkan persoalan tersebut lewat sebuah proyek besar. Rencana pembangunan stasiun sentral yang akan mengintegrasikan layanan kereta NISM dan SS dalam satu gedung. Dalam rencana itu, Stasiun Surabaya Kota rencananya akan dialihfungsikan sebagai stasiun barang. Ditambah pembangunan sebuah Dipo di daerah Sidotopo.
Guna mendukung rencana tersebut, mulai dibangun jalur kereta api elevated di atas jalan raya. Hal ini yang menjadikan Surabaya memiliki banyak Viaduk untuk jalur rel kereta api. Semua berawal dari rencana besar ini.
Dipo Sidotopo Kurangi Beban Surabaya Kota (Terkoneksi Pasar Turi)
Tahun 1923 Staats Spoorwegen (SS) berhasil mengoperasikan Dipo Sidotopo3 untuk menggantikan emplasemen Stasiun Surabaya Kota sebagai garasi maupun tempat perawatan sarana. Sehingga mengurangi beban stasiun tertua itu.
Tak hanya itu, Dipo ini juga terkoneksi langusng dengan Stasiun Surabaya Pasar Turi melalui Viaduct Kapasari, Bunguran (Pengampon), dan Soerabaia dekat Tugu Pahlawan sekarang. Jalur milik SS ini bertemu dengan NISM di Stasiun Mesigit4. Tahun 1926 keduanya terhubung sehingga membentuk segitiga Mesigit.
Stasiun Kereta Surabaya Gubeng Upgrade Tahun 1897 (Ada Trans Jawa)
Sebenarnya dengan tersambungnya Pulau Jawa dengan jaringan rel kereta api Trans Jawa pada 1894 telah diantisipasi oleh Staats Spoorwegen (SS). Salah satunya dengan upgrade Halte Gubeng menjadi Stasiun Surabaya Gubeng. Stasiun ini memberi alternatif bagi para penumpang sehingga nggak harus turun di Surabaya Kota.
Namun sepertinya hal ini nggak begitu membantu. Secara posisi Stasiun Surabaya Gubeng merupakan bagian dari Jalur Kereta Api Surabaya Pasuruan yang mulai beroperasi 1878. Dengan kata lain stasiun antara. Tetap aja nggak nyambung sama Stasiun Surabaya Pasar Turi.
Stasiun Kereta Surabaya Gubeng : Bukan Stasiun Utama
Meski telah upgrade, Stasiun Surabaya Gubeng pada saat itu bukan stasiun utama. Karena hanya melayani perjalanan Oosterlijnen. Dengan rute yang masih sama dengan Stasiun Surabaya Kota sebagai stasiun utama. Sebatas tujuan Banyuwangi, Malang, Blitar, hingga Surakarta.
Bahkan dalam proyek besar perkeretaapian Surabaya, stasiun ini nggak masuk rencana untuk jadi stasiun utama. Jadi proyek tetap menempatkan Soerabaia Hoog. Peran Stasiun Surabaya Gubeng paling sebatas stasiun antara.
Stasiun Kereta Surabaya Gubeng : Sebenarnya Nyambung Pasar Turi Tapi Nggak Langsung
Staats Spoorwegen (SS) mulai mengoperasikan Dipo Sidotopo tahun 1923. Sebelumnya telah mengembangan jaringan rel kereta ke arah barat yang terus ke Kalimas. Nah sebetulnya saat itu antara Stasiun Surabaya Gubeng dengan Pasar Turi udah nyambung. Tapi masih nggak langsung.
Kereta harus lebih dulu memutar di Sidotopo dan Mesigit. Lantas pada 1926 rel dari Stasiun Surabaya Pasar Turi bisa nyambung di Mesigit. Meski manuver di Sidotopo tetap berlaku.
Terhambat Akibat Krisis Ekonomi dan Perang Dunia ke-2 Hingga Nggak Pernah Terwujud
Sebenarnya rencana membangun Soerabaia Hoog sekaligus bisa wujudkan konektivitas langsung antara Stasiun Kereta Surabaya Gubeng dengan Pasar Turi. Dengan posisi sentral tetap di Soerabaia Hoog. Namun proyek besar itu terhambat Krisis Ekonomi dan Perang Dunia ke-2. Hingga kedatangan Jepang tahun 1942 bahkan nggak pernah terwujud.
Pemerintah kolonial hanya berhasil membangun jalur elevated dari Sidotopo ke Kalimas dengan sejumlah viaduct5. Begitupula segitiga Mesigi. Sedangkan untuk segmen Soerabaia Hoog hanya berhasil membangun Viaduk Ngaglik saja tanpa memasang rel kereta api sehingga mangkrak. Meski begitu tetap masuk Cagar Budaya.
Stasiun Kereta Surabaya Gubeng : Mulai Ambil Alih Layanan KA Jarak Jauh
Seiring berjalannya waktu, peran Stasiun Surabaya Kota semakin berkurang. Bahkan sejak pertengahan tahun 1990-an, layanan penumpang KA Jarak Jauh telah diambil alih oleh Surabaya Gubeng6.
Sehingga stasiun yang pada awalnya hanya halte itu mulai mengambil peran sebagai stasiun utama di Kota Surabaya. Jadi gerbang masuk utama untuk perjalanan kereta dari arah Timur dan Selatan.
Stasiun Kereta Surabaya Gubeng : Jadi Stasiun Sentral Gantikan Soerabaia Hoog
Konektivitas langsung antara Stasiun Kereta Surabaya Gubeng dengan Stasiun Surabaya Pasar Turi mulai dibangun pada tahun 2007. Kali ini bentuknya shortcut. Membangun jalur tambahan antara Viaduk Pengampon dengan Stasiun Surabaya Kota. Pembangunan tersebut berlangsung selama kurang lebih 7 tahun. Bersamaan dengan double track Jakarta Surabaya.
Pada tahun 2014 shortcut selesai. Konektivitas langsung dua stasiun utama itu akhirnya terwujud. Nggak lama setelahnya beroperas Kereta Api Jayabaya tujuan Stasiun Malang via Pantura. Hal itu langsung menjadikan Stasiun Kereta Surabaya Gubeng sebagai stasiun sentral. Dimana melayani juga perjalanan kereta pantura.
Rencana stasiun sentral pada tahun 1910 baru bisa direalisasikan 2014. Itu berarti penantian panjang selama satu abad lebih! Peran yang rencananya untuk Soerabaia Hoog sekarang diemban oleh Stasiun Surabaya Gubeng.
Kesimpulan
Stasiun Kereta Surabaya Gubeng kini menjadi stasiun sentral di Kota Surabaya. Namun perjalanan menuju ke sana telah berlangsung selama lebih dari seabad. Sejak awal stasiun ini nggak dirancang untuk itu. Secara pemerintah kolonial sebetulnya udah punya rencana lain yakni Soerabaia Hoog yang mengintegrasikan layanan NISM dan SS.
Namun dalam perkembangannya proyek besar itu tersendat akibat Krisis Ekonomi dan Perang Dunia ke-2. Sampai dengan kedatangan Jepang tahun 1942 hanya segmen Benteng-Kalimas (1886), Dipo Sidotopo (1923), dan Segitiga Mesigit (1926) yang berhasil terbangun.
Adapun konektivitas langsung dengan Stasiun Surabaya Pasar Turi baru bisa terwujud tahun 2014. Sejak itu stasiun yang awalnya merupakan halte ini mulai melayani perjalanan kereta Pantura. Sekaligus menjadikannya stasiun sentral. Menggantikan peran Soerabaia Hoog yang batal dibangun.
- Stasiun Surabaya Pasar Turi bukanlah terminus (ujung). Jalur kereta masih lanjut hingga Stasiun Mesigit milik Staats Spoorwegen (SS) yang masih merupakan bagian dari segmen Benteng – Kalimas (1886). Namun tak tersambung dengan jalur Staats Spoorwegen (SS) ↩︎
- Emplasemen tersebut sekarang masih dijadikan tempat untuk memarkir rangkaian kereta. Terutama rangkaian KA Jarak Jauh yang tujuan akhir Stasiun Surabaya Gubeng ↩︎
- Staats Spoorwegen (SS) sebenarnya telah mengembangkan jaringan kereta api antara Surabaya, Sidotopo, dan Kalimas. Jaringan rel tersebut mulai beroperasi 1886. Termasuk di dalamnya adalah Stasiun Benteng. Segmen ini menghubungkan Benteng – Sidotopo – Kalimas ↩︎
- Sebenarnya ini adalah bagian dari lintas Sidotopo Kalimas yang telah ada sejak 1886. Namun belum ditemukan sumber apakah sejak awal telah dibangun Viaduk atau belum. Bisa jadi jalur ini lebih dulu ada. Kemudian proyek besar yang merubah jalur rel kereta api menjadi elevated mulai 1910 bersamaan dengan rencana Soerabaia Hoog. ↩︎
- Ibid. ↩︎
- Saat ini Stasiun Surabaya Kota menjadi stasiun utama untuk layanan komuter. Kecuali Panturaan seperti Commuter Line Blorasura, Arjonegoro, dan Sindro. Adapun satu-satunya KA Jarak Jauh di sini ialah KA Sritanjung. ↩︎
Leave a Reply